Saat SMA aku pernah bangun dari tidur siang dengan ketakutan yang luarbiasa akan kematian. Tuhan seperti penjudi yang menarik seluruh keuntungan yang ia dapat dalam satu kali pertaruhan. Aku bangun lalu lari dan lari. Berharap, jika menjauh dari kamar, dari tempat tidur, aku akan selamat.
Belakangan aku tidak lagi lari. Aku membayangkan kematian sebagai hal yang dekat. Ia seperti teman lama yang menyapa dan selalu berjanji padamu kelak akan mengajak liburan di vila milik keluarganya. Kamu berharap temanmu itu memenuhi janjinya, kamu berpikir liburan di vila itu akan membuatmu waras, membuatmu tak lagi memikirkan luka dan trauma di kepala.
Kamu tahu bahwa saat kamu menerima ajakan liburan itu, teman lama itu datang menjemput, kamu tak bisa kabur. Kamu hanya punya satu tiket pergi dan tak akan pernah pulang. Kamu cemas, tapi tidak takut. Karena tahu bahwa barangkali tak ada hal yang layak dipertahankan di rumah, di kantor, di jalan, dan kamu hanya ingin pergi jauh dan tidak kembali.
Aku tidak takut akan kematian. Ia hal yang wajar. Aku benci tidak tahu kapan itu terjadi, seperti nasib sial terjungkal karena kulit semangka, atau jatuh di lantai kamar mandi yang licin, kematian seringkali adalah lotere dari nasib yang tidak pernah kamu pertaruhkan.
Ketakutan kita akan kematian seringkali karena tak tahu cara menikmati hidup. Kita bekerja keras setiap hari berharap kelak bisa kaya, setelah kaya akan bisa liburan, membeli barang-barang yang membuat bahagia. Kita takut mati karena belum pernah merasakan kebahagiaan-kebahagiaan yang diidamkan itu.
Membayangkan hidup yang demikian, kehidupan yang kujalani saat ini sepertinya sudah sangat menyenangkan. Aku tak tahu apalagi yang kucari. Kita berusaha keras menambal kehilangan, berusaha keras memenuhi ruang hampa di dada, padahal hidup adalah apa yang terjadi saat kamu sibuk khawatir, sibuk berpikir, dan sibuk mencari jalan menghadapi rasa khawatir.
Lalu bagaima kamu ingin dikenang? Pertanyaan ini seperti todongan bandit di gang sepi. Aku ingin dikenang sebagai manusia yang belajar. Memperbaiki dan menyadari kesalahan yang dibuat sepanjang hidup. Aku ingin dikenang sebagai manusia sentimentil yang jatuh cinta pada cinta itu sendiri.
Seperti Hachiko yang menunggu tuannya pulang. Seperti Ivan Ilyich yang menunggu mati. Seperti Ajo Kawir yang menunggu tegang.