Kembali

dhani
3 min readNov 2, 2020
Gustav Klimt’s Death and Life (1910–1915) famous painting. Original from Wikimedia Commons. Digitally enhanced by rawpixel.

Hari ini aku bangun terlalu siang. Semalam aku begadang hingga jam 3 pagi. Sepanjang hari aku menulis, membaca data, dan berusaha menyusun outline untuk naskah baru. Sore harinya aku berniat olahraga, jalan kaki, tapi rasa kantuk membuatku tak berdaya. Aku tidur dua jam dan tepat pukul 6 sore bangun dengan perasaan berantakan. Aku merasa tak berguna, aku merasa tak punya manfaat, dan aku merasa hidup ini demikian berat untuk dijalani.

Ini pertama kali dalam 8 tahun aku menganggur selama dua bulan. Sebagai orang yang menanggung penghidupan orang tua, aku merasa khawatir tak bisa membantu mereka. Menganggur membuatku merasa invalid, bahwa hidupku sebagai manusia tak sempurna, bahwa seharusnya aku berusaha lebih keras untuk mencari lowongan, aku merasa menganggur adalah sikap buruk pemalas.

Hal ini membuatku terjebak dalam siklus memuakkan. Bangun tidur dengan merasa bersalah karena menganggur, aku berusaha menghibur diri sendiri dengan berkegiatan, kegiatan itu tak memiliki nilai guna, aku tidur dengan membenci diri sendiri, dan hal itu berulang setiap hari. Beban itu menumpuk, pundakku terasa berat, aku tak bisa tidur saat malam, dan tiap hari dada sesak dengan perasaan-perasaan buruk. Imbasnya aku mengingat hal-hal yang tak perlu aku ingat. Rasa bersalah dari masa lalu, kerinduan akan waktu-waktu saat hidup lebih baik, atau kemarahan karena tak bisa memiliki kemampuan yang berguna untuk bisa dapat pekerjaan saat ini.

Aku merasa sepanjang 2020 ini aku jatuh dan terus jatuh. Kehilangan pasangan, kehilangan pekerjaan, kehilangan suport system, kehilangan semangat hidup, dan kehilangan karir. Aku tak tahu apa yang aku miliki sampai aku benar-benar jatuh ke bawah. Aku merasa hidupku hancur saat kehilangan partner, lalu kemudian kehilangan orang yang aku anggap teman, kehilangan pekerjaan yang membantu menghidupi orang tua, aku tak tahu berapa banyak lagi kehilangan sampai aku benar-benar di dasar penderitaan hidup.

Aku pikir aku bisa kembali menjalani hidup dengan tenang. Tapi segala masalah yang ada membuat kita dipukul mundur. Berjalan, lalu dipukul jatuh. Kamu coba bangkit lagi, coma menjalani apa yang kamu tahu, lalu dipukul jatuh lagi. Kamu menyadari bahwa segala hal yang kamu ketahui sebelumnya tak berguna. Kamu perlu belajar ulang, belajar mencari cara yang baru. Apa yang kamu kuasai sebelumnya tak punya nilai, tak punya manfaat, kamu kembali jadi kosong.

Memulai dari bawah bukan masalah. Saat kamu jatuh, satu-satunya jalan untuk keluar hanya merangkak ke atas. Kamu tak tahu apa yang terjadi jika kamu terus jatuh dan jatuh. Apakah kamu akan kehilangan lagi? Kehilangan apa? Bagaimana kamu menghadapi kehilangan ini? Apa yang perlu disiapkan? Aku merasa 2020 adalah serangkaian persiapan menuju yang tak bisa dijelaskan. Kamu hanya terus kehilangan sampai akhirnya tak memiliki apapun. Saat itu terjadi, kamu hanya bisa terus maju, terus berusaha.

Kamu akan diuji dan akan terus diuji. Kamu akan kehilangan dan terus kehilangan. Kamu akan terus ditempa sampai kamu kembali lebih kuat. Manusia akan menjalani hidup dengan penderitaan, dengan kegetiran yang maha perih. Tapi bukan tentang perih yang membuat kita terluka, tapi ekspektasi yang menyertainya. Berharap bisa kembali saat semua sudah berakhir, berharap bisa kembali saat semua sudah hilang.

Mungkin ini cara tuhan bicara. Mungkin ini cara tuhan untuk membuatku tangguh. Kita diuji, diperas, ditekan hingga kalah, dibuat jadi lebih kuat. Saat ini hanya perlu bertahan. Sebisanya. Sekuatnya.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet