Selama tiga tahun tinggal di sebuah kosan di Jakarta Selatan, saya menemukan bahwa keluarga tak harus orang yang lahir dari rahim yang sama atau punya ikatan darah. Di kosan itu saya bertemu orang yang dengan sabar mau mendengar cerita, bersedia memberi makan ketika lapar, dan yang paling menggembirakan bersedia mendengar suara parau saya ketika bernyanyi.
Senin kemarin saya memutuskan pindah dari Jakarta setelah delapan tahun. Kepergian ini dilakukan tanpa pamit. Teman-teman di kosan merasa kecewa dan marah, mereka menganggap saya tak peduli dan sombong. Apalah yang bisa disombongkan dari kepergian tanpa pamit? Saya lantas memutuskam mengirimkan pesan kepada setiap teman di kosan lama. Menceritakan betapa penting mereka dalam hidup dan apa harapan saya untuk mereka.
Hal-hal haru yang menyertai perpisahan selalu merepotkan. Kita harus membongkar isi kepala, bagasi ingatan, dan ia akan membuat langkah jadi berat. Saya tak ingin itu terjadi. Jakarta sudah terlalu sesak dengan kepahitan dan tak ada lagi ruang untuk saya di kota itu. Meski demikian pergi tanpa pamit adalah hal yang salah. Orang-orang di kosan itu punya nilai penting dalam hidup saya.
Saudara seringkali hanya perkara ikatan darah, sementara keluarga adalah orang yang kita ijinkan untuk menjadi dekat dan merepotkan. Di perjalanan menuju stasiun, melihat lampu kota yang berkilat-kilat saya ingat esai Umar Kayam tentang Gubenur Papua yang datang ke Jakarta, melihat kampung-kampung sesak dan jalanan yang macet, ia menawarkan orang-orang itu untuk datang ke Papua. Tanah yang lebih lega dan tak lagi sesak.
Esai itu demikian kuat bagi saya karena menghadirkan realita yang perih. Orang asing, dari tanah yang jauh, melihat apa yang salah di Jakarta tanpa menghakimi tapi memberikan ruang untuk membantu, kepedulian tanpa pamrih, dan keinginan untuk bisa membuat orang lain lebih bahagia. Saya lupa kalimat tepatnya, tapi kira-kira ia seperti ini: Orang Jakarta kena “hardik kemilau lampu kota yang terang benderang” sehingga “Menjadi lupa jagatnya sendiri”.
Saya ingat ketika depresi menyerang, keinginan menyakiti diri sendiri demikian kuat, kesepian, dan kepala bising dengan keinginan bunuh diri, seseorang mengetuk pintu kamar kos. Teman-teman kosan ini sedang masak bersama, mereka mengajak kami semua untuk makan. Sayur lodeh, tempe tahu goreng, kerupuk dan perbincangan kikuk orang-orang asing di kosan itu, menyelamatkan saya dari kematian.
Ketika saya dipecat dan kehilangan pekerjaan, mereka memasak setiap hari, bergiliran, mengajak saya untuk bertahan hidup seadanya, sekuatnya. Mereka juga memberikan rekomendasi pekerjaan untuk bertahan selama pandemi. Hingga pada akhirnya saya pindah ke kota yang lain, mereka masih bertanya apakah saya sudah makan, cukup tidur, dan butuh sesuatu. Kepedulian semacam ini yang membuat saya terus ingin hidup.
Di kosan itu saya melihat kezuhudan orang yang menemukan tuhan baru. Orang-orang yang mencintai dirinya sendiri dan yang menyintas dari hubungan merusak. Setiap dari kami tak sempurna, tapi belajar untuk dewasa, sementara kesalahan itu ada untuk jadi bahan tertawaan. Tapi bukankah itu hidup? Kita membuat kesalahan, menyesalinya, kelak bertahun kemudian ketika luka telah sembuh, kita menertawai segala hal bodoh yang telah dilakukan.
Di kosan itu saya berbagi cerita, beban, dan menumpahkan perasaan. Mereka tekun mendengar, tidak menghakimi, dan memberi saya kesempatan untuk menjilat luka sendiri. Lantas ketika saya butuh nasihat, mereka memberikan pelajaran hidup. Tentang bangkit saat jatuh, tentang percaya setelah dikhianati, memulai lagi setelah kehilangan segalanya. Selamanya saya akan berhutang kepada mereka.
Barangkali itu alasan mengapa saya menangis di jalan. Kota ini terlalu sesak, terlalu sempit, dan hidup sudah demikian mengenaskan. Di sebuah warung makan, jalur transjakarta, MRT, stasiun manggarai, dan berbagai cerita soal hidup yang tak selesai. Tapi hidup akan terus berjalan, kita jatuh cinta, berpisah, dilahirkan, sakit, mati dan siklus itu akan tetap ada, dengan atau tanpa kita.
Saya menyimpan sebuah foto bersama teman-teman kos. Di kota yang baru, ingatan dan cerita tentang mereka akan saya bawa, sampai ada ingatan baru menggantikan. Saya tak perlu berlomba untuk lekas sembuh, kepedihan, penderitaan, dan segala yang menyertainya akan saya nikmati sekuatnya, sebisanya, tanpa harus malu.
Pagi ini saya bangun dengan harapan baru. Saya berdoa agar teman-teman di kosan lama berbahagia, menemukan kemujuran dari nasib tengik yang hadir di sepanjang 2020. Saya berharap mereka dinaungi keberuntungan dan cinta kasih. Sebagaimana mereka memberikan kebahagiaan kepada saya.