Kambuh

dhani
3 min readMar 24, 2021

Tiga hari terakhir isi kepala saya bising dengan suara penyesalan. Ia bicara tentang hal-hal yang tak bisa saya selamatkan, menyalahkan apa yang saya lakukan, dan mengatakan saya tak layak dicintai.

Ini episode relapse, masa kambuh yang kadang hanya seperti angin lewat tapi juga bisa serupa lumpur yang mengendap di kaki dan tak mau lepas. Saya berusaha keras mengatur nafas, berdzikir, ngobrol dengan teman, apapun yang bisa dilakukan agar bisa bertahan dan tidak nekat melakukan hal bodoh.

Semalam karena tak tahan saya memutuskan untuk menulis lagi, surat untuk orang-orang yang disayangi. Setelah sedikit reda saya coba tidur. Tadi pagi saya baru bisa lelap jam 2 pagi, sebelumnya saya mencari cara agar bisa tidur, tak ada satupun yang mujarab.

Saya tak ingin suara-suara bising itu makin menjadi. Di rak buku ada beberapa tumpukan bacaan yang belum saya buka. Entah kenapa saya saya malah fokus pada buku yang berada di tumpukan paling bawah, Notes on Suicide susunan Simon Critchley.

Saya belum selesai membaca buku ini. Simon bicara tentang bagaimana sebaiknya memaknai bunuh diri. “The legal and moral framework that still shapes our thinking and judgement about suicide is hostage to a Christian metaphysics that declares that life is a gift of God,” tulis Simon.

Kita kerap menyebut bahwa hidup adalah berkah dari tuhan, ini mengapa bunuh diri adalah tindakan terkutuk yang sangat berdosa. Tapi bagaimana jika hidup bukan berkah? Bagimana jika hidup adalah repetisi dari tragedi yang mengerikan dan membuat manusia ingin menyerah?

Tuhan macam apa yang membuat kita merasa sakit, menderita, kosong, dan pedih usai menghadapi tragedi? Beberapa dari kita menemui perpisahan, menemui kehilangan, lantas merasakaan penderitaan yang teramat sangat. Kita kemudian membayangkan kematian akan lebih mudah dihadapi daripada terus hidup dengan rasa sakit itu.

Sialnya, semua ajaran agama nyaris mengatakan bahwa hidup adalah anugerah dari tuhan dan bunuh diri artinya menghina tuhan. Beberapa dari kita terus menerus diajarkan bahwa hidup adalah tugas mulia, tapi tak pernah diberi tahu bahwa bunuh diri adalah pilihan. Kita tak pernah diajari untuk bertahan menghadapi rasa kosong tadi, rasa sakit tadi, lantas saat ingin menyerah, bunuh diri dianggap dosa.

Saya percaya hidup itu indah. Ini tentu dengan asumsi bahwa isi kepalamu tak memintamu untuk menyakiti diri di tengah malam karena kamu tak kuat menahan sesak di dada kiri, atau tiba-tiba merasakan cemas luar biasa karena alasan sepele: tenggat tugas semakin dekat dan kamu tak tahu harus berbuat apa.

Orang dengan gangguan kecemasan atau gangguan kesehatan mental pada umumnya, melihat dunia dengan kacamata yang sama sekali berbeda. Jika banyak dari kita menganggap bahwa dunia ini layak diperjuangkan, beberapa dari penderita gangguan kesehatan mental menganggap dunia dalam keadaan gawat dan tak bisa diselamatkan.

Orang yang kehilangan orang terkasih, pacar, sahabat, orang tua, juga mengalami rasa perih yang sama. Rasa sesak, kemarahan, kesedihan, dendam, semua berkumpul jadi satu dan membuat hidup jadi demikian berat. Mereka berpikir mungkin kematian akan jadi lebih masuk akal. Bunuh diri jadi pilihan, tapi alih-alih dikuatkan, beberapa dari kita malah memberi kotbah pada orang malang itu.

Saya cenderung memandang dunia dengan skeptis dan sinis. Perang, kapitalisme, perubahan iklim, perusakan alam, membuat bumi makin hari makin tak layak. Sementara teman yang lain sangat optimis dengan kemajuan, teknologi, ekspedisi luar angkasa, dan film-film terbaru. Kami hidup di planet yang sama dengan dua pikiran yang sama sekali berbeda.

Malam ini saya masih susah tidur. Besok hari kerja dan isi kepala tak juga sepi. Ada banyak penyesalan yang membuat saya membayangkan skenario-skenario ganjil tentang hidup. Jika saya bisa mengulang waktu, mana yang ingin diambil? Memilih tidak dilahirkan atau memperbaiki kesalahan?

Saya ingat sebuah artikel yang bercerita tentang perawat Australia bernama Bronnie Ware. Ia seorang suster yang bekerja di bangsal pelayanan intensif. Ia merekam banyak sekali penyesalan dari pasien-pasien yang sakratul maut. Bukan seks, bukan uang, bukan ketenaran, tapi hal-hal sederhana yang menjadi penyesalan banyak pasien sekarat menjelang kematian tiba.

Penyesalan itu lahir dari sikap bengis pada diri sendiri. Seringkali kita mengabaikan nurani dan bersikap keras hati, sampai segalanya terlambat. Beberapa penyesalan yang banyak ditemukan adalah: Tak menghabiskan waktu untuk bekerja, Tak berani menjalani hidup sesuai keinginan diri sendiri, dan yang paling perih, tak mampu mengungkapkan isi hati.

Malam ini saya berusaha untuk menyelesaikan buku ini. Membungkam isi kepala yang makin bising sambil berharap bisa menemukan hal yang akan membantu saya menerima hidup. Saya sadar ada hal yang tak bisa saya ubah dan tak apa. Barangkali dengan menyesali yang ada, saya akan jadi lebih baik, atau lebih kuat.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

Responses (1)