Kalut

dhani
2 min readNov 9, 2020

Dua minggu terakhir aku tak mampu menulis dengan baik. Aku merasa tak berguna dan terus menerus berpikir bahwa selama ini aku hidup dari kebaikan orang lain. Aku tak punya bakat dan selama ini tulisanku tak pernah dibaca serius. Mereka sebenarnya hanya kasihan. Orang-orang baik budi yang tak tega penulis buruk melahirkan karya yang tak dibaca siapapun.

Aku berusaha menulis dan menulis. Kebanyakan berakhir di dalam draft tanpa pernah diterbitkan. Beberapa aku tulis hanya untuk dihapus. Apa yang bisa diharapkan dari tulisan yang dikerjakan dengan separuh hati? Aku pikir aku tak layak membebani pembaca dengan tulisan-tulisan buruk. Hidup terlalu singkat dan betapa meruginya manusia yang membaca karya buruk sementara ada karya bermutu yang lebih penting dibaca?

Dari hari ke hari aku bisa membayangkan perasaan Kafka yang membenci luar biasa tulisannya. Buku-buku dan cerita-cerita yang ia bikin kerap tak selesai. Sampai di sini aku hendak mengingatkan pembaca sekalian, aku tak sedang membandingkan diriku dengan Kafka. Aku merasa punya keterikatan dan keterlibatan emosional sebagai penulis yang membenci karyanya sendiri.

Aku merasa punya hutang pada setiap orang yang membaca tulisanku. Aku membuang waktu mereka dan aku harus mempertanggungjawabkan setiap pohon yang ditebang untuk jadi kertas bukuku. Terdengar luar biasa sombong kan? Ini ciri-ciri penulis medioker, ia merasa punya dampak besar pada peradaban, sementara mungkin ia tak bisa mengeja “di” dipisah dan “di” disambung tanpa bertanya pada Ivan Lanin.

Setiap malam aku tidur setelah tengah malam. Aku membenamkan diri di lautan video-video makanan, video-video tiktok, hingga pada satu titik aku tertidur dengan ponsel yang kehabisan baterai pada pagi hari. Aku lupa apa yang dilakukan semalam dan memulai kegiatan dengan membenci diri sendiri. Tapi mungkin tuhan masih punya sedikit berkah untukku, masih punya harapan padaku. Ia menunjukkan bahwa tulisan jelek juga masih punya pembaca dan tulisanku masih punya penggemar.

Aku merasa dengan menulis isi kepalaku bisa jadi lebih ringan. Kecemasan dan kemarahan jadi lebur, ia mengalir seperti nanah usai mengiris luka yang membengkak. Kamu merasakan perih keluar dan setelahnya lega. Aku merasa bahwa kita punya pilihan untuk membiarkan nanah itu menjadi infeksi membunuh atau merasakan pedih untuk kemudian lega setelahnya.

Taleb, kawanku bertanya dengan khawatir, mengapa aku tak lagi menulis? Ia menunggu dan berharap aku membuat tulisan lagi. Aku tak tahu apakah tulisanku membantu? Tulisanku punya nilai guna, yang aku tahu, seorang temanku khawatir dan ia perlu bertanya. Aku menulis malam ini dengan kelegaan luar biasa. Jika ada satu saja, satu orang saja, yang merasa bahwa tulisanku bermanfaat baginya, aku akan terus menulis.

Semoga kalian terus berbahagia.

--

--

dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?