Jiwa

dhani
4 min readJun 12, 2020
Flute player from Momoyogusa–Flowers of a Hundred Generations (ca. 1909–1910) by Kamisaka Sekka. Original from the The New York Public Library. Digitally enhanced by rawpixel.

Setahun lalu, jika anda bertanya, apakah olahraga itu penting? Saya hanya akan tertawa. Ngapain olahraga? Capek, berkeringat, dan bikin pegal-pegal. Tapi orang bisa berubah, nilai berganti, dan tentu saja saya juga.

Kemarin jalan sekitar 9 kilo. Nyaris 10 kilo. Bersepeda juga. Badan seperti dibanjiri endorfin. Mungkin kalau ada tempat yang layak, atau waktu yang tepat, mungkin hari ini bisa lebih dari sekedar 10 kilo.

Ada hal yang ingin saya perbaiki. Pola hidup, kualitas diri, berat badan, juga kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. membuat prioritas, dan memanjakan diri sendiri.

Dulu saya pikir beli sepatu, beli piringan hitam, beli baju, atau makan enak itu bentuk memanjakan diri. Mungkin iya, tapi pada satu titik malah jadi banal. Bukannya bersyukur, malah jadi tersiksa. “Duh belum punya yang ini, belum punya yang itu,” akhirnya ngga bisa menghargai yang ada.

Saya sedang berjuang meyakinkan diri bahwa olahraga, makan sehat, tidur nyenyak, dan fokus pada diri sendiri butuh konsistensi. Ngga cuma panas di awal, terus abis dan hilang belakangan.

Kemarin juga sudah banyak mengurangi benda-benda yang ngga dibutuhin. Ada yang minta baju, ada yang minta buku, ada yang minta sepatu. Beberapa diberi, dijual, dan didonasikan.

Seorang teman bilang daripada menumpuk, mending dikasih atau dijual murah, pada orang yang akan memakai dan merawat. Barangkali dengan begitu, benda itu bisa lebih berharga, bernilai, daripada nanti rusak karena cuma disimpan.

Pagi ini sekitar jam 5 bangun untuk keliling komplek. Setelah jalan tiga kilo, seorang kawan mengajak saya naik sepeda. Dia bilang ke arah Sudirman. Tanpa curiga saya menyanggupi ajakan itu. Berjalan dari Simatupang lalu ke Antasari, Blok M, Senayan, lha kok bablas. Ternyata Sudirman yang dimaksud adalah patung Sudirman.

Mati. Tanpa persiapan, cuma bawa uang 15 ribu, ponsel, saya nekat gowes 30 kilo! Berhenti sebentar di Cikajang untuk makan nasi gule, saya sampai di Kosan jam 9. Sampai di kosan kaki saya seperti lumer, ngga ada tulang, haus luar biasa, kaus basah oleh keringat dan naik tangga dengan mata berkunang-kunang.

Teman saya itu bilang, besok sabtu dia mau jalan lagi. Saya ngga yakin bisa. Sesudah mandi, ganti baju dan rebahan. Saya banjir endorfin. Gembira, tenang, dan kelelahan.

Sembari rebahan saya melihat sekeliling. Masih banyak benda-benda yang belum dibereskan. Saya ngga tahu mengapa benda-benda itu masih disimpan setelah declutering terakhir. Apakah karena punya nilai sentimentil atau masih ingin dipakai pamer.

Beberapa sesi konseling bersama psikolog, selalu eksplore soal citra diri, harga diri, dan nilai diri. Saya ini mau dikenal bagaimana, sebagai apa, dan menjalani hidup seperti apa. Pertanyaan itu keliatan gampang, tapi saat berusaha dijawab dengan jujur ternyata rada rumit juga.

Selama ini menjalani hidup cuma ingin menyenangkan orang lain. Ingin menyenangkan orangtua, teman, sahabat, atau saudara. Kemudian ketika ditanya ingin dikenal sebagai apa, awalnya mau jawab sebagai penulis, tapi penulis itu pekerjaan. Ingin dikenal sebagai orang baik, tapi nyatanya ngga baik-baik banget, jejak digitalku masih ada dan buruk sekali.

Karena ingin menjawab itu, kemudian memilih untuk melakukan proses menulis perasaan diri. Sejak sebelum lebaran, sampai hari ini. Jawabannya ada pada tiap-tiap temuan saat dialog dengan diri sendiri. Seperti bawang, dikupas, lapisan demi lapisan menghadirkan sesuatu yang baru dan segar.

Sialnya, yang baru dan segar itu bikin saya makin asing sama diri sendiri. Ah masa sih saya narsisistik? Ah masa sih saya abusive? Ah masa sih saya punya traumatic inner child? Satu-satu diajak dialog, ngobrol, dan berusaha cari jalan keluar. Istilahnya membongkar bagasi batin dan jiwa, lantas ditata ulang isinya.

Baru setelah menghadapi diri sendiri, bisa melihat lebih jelas keluar. Oh ngga berani menghadapi konflik, karena selama ini selalu diremehkan dan pendapatnya ngga dihargai, akhirnya menutup diri. Selalu lari dari masalah karena ngga pernah diajari untuk berani menerima kesalahan dan meminta maaf.

Dari dialog itu kemudian perlahan cari tahu metode terbaik untuk memperbaiki diri. Kenapa sih selama ini problem selalu dihadapi dengan teriakan atau konfrontasi fisik? Apakah ada cara lain? Lalu apakah menyalahkan diri terus menerus itu bijak? Semacam itu.

Akhirnya ketahuan kalau selama ini punya problem dengan kepercayaan diri. Semacam inferior dan rendah diri. Merasa buruk. Entah karena fisik yang obesitas, keinginan untuk membuktikan diri terus menerus, tubuh yang bungkuk, atau kesulitan merangkai kalimat dengan baik saat bicara. Lalu kemudian cari cara untuk ngatasi itu semua.

Nah Prosesnya dari hal yang sederhana. Tidur lebih teratur, bangun tidur beresin kasur, ibadah lebih rajin, olahraga lebih sering, baca buku, denger podcast, apapun yang dirasa bisa mengembangkan diri sendiri.

Setelah itu lebih memilih untuk menumbuhkan potensi diri daripada memoles penampilan luar. Mengganti barang-barang dengan pengetahuan, mengadopsi nilai baru, dan mengembangkan keterampilan yang dimiliki. Belajar naik sepeda, berenang, lari, membuat puisi, belajar merajut, koding, apapun yang dianggap bisa membuat batin lebih ceria.

Memisahkan diri dari benda, terutama yang punya nilai material untuk pamer, ternyata berat dilakukan. Ini sebab dalam diri, saya masih memelihara hasrat kebendaan dan keinginan dianggap keren karena jadi kolektor ini itu. Semoga nanti akan bisa bebas.

Selamat hari Jum’at.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

Responses (3)