Salah satu kalimat paling menyakitkan yang pernah saya dapat mungkin dari pernyataan ibu. Mungkin kalian sering membaca sosok ibu dalam banyak tulisan. Meski demikian hubungan kami tak selalu baik. Dari kecil saya merasa ia lebih menyayangi adik perempuan saya.
Tumbuh besar dengan perasaan disisihkan membuat saya susah percaya bahwa saya bisa dicintai. Perasaan itu lahir dari fakta bahwa Ibu bilang ia tak pernah merencanakan untuk melahirkan saya, atau punya anak laki-laki ke empat. Ibu dan Bapak sebenarnya dalam program keluarga berencana, entah kenapa program itu kebobolan dan saya dalam kandungan.
Dokter yang menjadi penasihat menawarkan untuk menggugurkan, satu-satunya alasan Ibu menolak aborsi karena kandungan sudah terlalu besar. Saya bertanya, jika memang aman apakah ia mau menggugurkan, Ibu menjawab mempertimbangkan itu, apalagi karena selama ini ia ingin sekali punya anak perempuan. Kelahiran saya, yang laki-laki, sedikit membuat dia kecewa.
Ibu cerita soal ini saat saya sudah kuliah. Entah kenapa perasaan itu demikian membekas. Apakah saya anak yang diinginkan? Apakah bapak atau ibu menginginkan saya? Pertanyaan lain, memang aborsi legal di Indonesia? Pelan-pelan sejak kuliah saya merasa bahwa mungkin memang saya tak pernah diinginkan. Perasaan cemas dan tak berharga itu bukan yang pertama kali.
Saat kelas dua SMP saya pernah naksir berat dengan teman sekelas. Saya membuat gambar, semacam sketsa nama dan gambar kami berdua bergandeng tangan. Seorang teman melihat itu dan memberitahu perempuan yang saya suka itu. Perempuan yang saya suka itu kemudian berteriak, bahwa dia tak suka saya, dan minta saya ngaca. Teman sekelas tertawa dan saya malu luar biasa.
Mungkin ini yang jadi salah satu alasan mengapa saya punya perasaan rendah diri dan haus afeksi. Media sosial memberi itu, memberi perasaan bahwa ada orang yang suka, setuju, peduli, dan butuh kita melalui perhatian. Likes, repost, ritwit, reshare seperti jadi penerimaan, bahwa ada orang yang memberi afirmasi. Ini jelas serupa candu.
Tumbuh dengan pengalaman lumayan traumatik semacam itu membuat saya susah percaya bahwa saya bisa dicintai. Berkali-kali hubungan kandas, berantakan, atau berakhir karena berpikir bahwa saya tak layak dicintai. Bagaimana mungkin saya berharga, lha orang tua sendiri ngga mau saya lahir. Bagaimana mungkin saya bisa dicintai, wong sekedar suka saja disuruh sadar diri dan ngaca.
Perilaku semacam ini punya dampak buruk. Ketika punya ketenaran, pengaruh, saya kemudian memanfaatkan itu untuk memperoleh afeksi sebanyak-banyaknya. Ini tindakan salah yang membuat saya menyesal. Beberapa teman baik mengajarkan tentang pentingnya ketulusan, kejujuran, dan sikap fair dalam hubungan. Sesuatu yang benar-benar asing.
Saya mendorong orang lain untuk pergi. Tak bisa percaya bahwa saya layak dan bisa dicintai. Selalu berusaha mencari kenyamanan dari tempat asing. Berusaha mencari afirmasi di media sosial. Mencari afeksi dari orang yang salah. Atau lebih buruk dari itu mengukur diri dari komentar orang lain atau bagaimana orang lain berkomentar di media sosial.
Hidup jadi lebih muram, karena berusaha untuk selalu relevan dan bisa diterima di media sosial. Kamu pelan-pelan kehilangan identitasmu sendiri, menjadi asing, lantas membenci diri sendiri. Saya berusaha menyenangkan orang lain, berusaha untuk bisa masuk dalam persepsi orang. Belakangan itu makin memperburuk rasa insecure, kecemasan, dan rasa takut atas pendapat orang.
Menjelang tigapuluh, bertemu banyak kepala, belajar dari kesalahan, mengakui diri bahwa tidak sempurna, menemukan orang yang peduli, benar-benar membuat saya tumbuh. Saya menyesali kejahatan yang dilakukan di masa lalu, belajar untuk lebih jujur, berkomitmen untuk melakukan lebih baik, memaafkan diri sendiri dan kesalahan orang lain.
Susah sekali untuk mengakui kesalahan sendiri, apalagi menyadarinya sebagai proses pendewasaan. Pelan-pelan lingkungan membantu saya mencerna trauma dan kemarahan. Semua itu membuat saya bisa memaafkan ibu, menyadari bahwa apa yang dilakukan teman sekelas dulu karena mungkin ia malu, dan menyadari bahwa mencari afeksi dengan memanfaatkan kerapuhan orang lain adalah hal salah.
Hari ini saya sudah berdamai dengan perasaan marah dan kecewa pada ibu. Saya menerima bahwa penolakan bukan berarti kebencian. Juga tidak ada kesalahan yang tak bisa diperbaiki. Keberanian mengakui kesalahan, berkomitmen untuk jadi lebih baik, juga untuk memaafkan kemarahan serta kesalahan di masa lalu. Kita berpikir meminta maaf itu mudah, tapi memaafkan diri dengan penyesalan besar luar biasa susah.
Saya menyadari bahwa tidak sempurna, memiliki trauma, atau dikecewakan bukan alasan bagi kita untuk jadi jahat. Penderitaan semestinya membuat kita bisa lebih peduli, lebih mengerti, bahwa orang lain punya beban yang mungkin tidak tahu. Saya memiliki banyak penyesalan dalam hidup yang membuat hidup hari ini bisa mudah dijalani. Penyesalan itu membuat saya bisa merasakan penderitaan orang lain dan peduli atas kebutuhan mereka.
Jika kamu merasa relate atau punya pengalaman serupa, saya menyarankan kamu untuk bertemu profesional. Psikolog atau konselor. Seseorang yang bisa membantu dengan dasar keilmuan dan pengetahuan yang tepat. Mencari bantuan adalah hal paling berani saat depresi dan hal paling baik yang pernah saya lakukan ketika cemas. Apapun yang terjadi, semoga kamu kuat, semoga kamu tahu bahwa kamu berharga.