Jeda

dhani
2 min readOct 27, 2020

Aku berusaha untuk duduk diam sebelum berdiri usai bangun tidur. Saat itu mungkin 10 detik pertama ketika mata terbuka, aku berusaha mengumpulkan nyawa, mengumpulkan kekuatan, untuk berdiri dan cuci muka. Dalam 10 detik pertama setelah bangun tidur, aku berusaha mengingat banyak hal, siapa aku, apa yang akan dikerjakan hari ini, bagaimana aku melewati semalam, dan apa yang akan aku makan siang nanti. Kepalaku penuh dengan pesan, penuh dengan rencana, dan penuh dengan kecemasan yang tidak perlu.

Setiap hari aku selalu bangun pukul 7 pagi. Setelah mengubah jam tidur, kondisi tubuhku lebih bugar. Aku bisa begadang, tapi memilih tidur lekas, kamu tahu? Tidur adalah cara murah untuk hidup. Kamu tak perlu makan dan tak perlu membuang pulsa untuk scroll social media. Hidup kadang perlu mengambil ruang untuk bernafas, berhenti sejenak menikmati apa yang ada. Aku selalu berkelakar pada diri sendiri, emang apa yang bisa dinikmati dari hidup yang brengsek ini?

Mungkin kamu bisa menjawab. Aku merasa hidup terlalu komikal untuk bisa dinikmati. Pandemi, kebengisan pemerintah, pekerjaan yang tak tentu, kecemasan yang berlebihan, membuatku selalu berpikir hidup terlalu menyebalkan untuk dijalani sendirian. Beruntunglah mereka yang tak pernah dilahirkan, mereka tak perlu menderita. Betapa gembiranya mereka yang mati muda, tak perlu takut dibikin susah pekerjaan-pekerjaan membosankan.

Pekerjaanku dimulai pukul 10. Membalas email, mempersiapkan postingan sosial meda, membaca buku atau artikel online, kadang jika aku cukup beruntung, aku akan menulis untuk blog pribadiku. Beberapa dari kita bekerja untuk hidup, sedikit di antaranya memilih hidup untuk bekerja, saat ini pekerjaan adalah yang membedakan seseorang akan terus hidup atau tidak. Kamu tahu? Ribuan orang yang di-PHK berharap bisa menemukan pekerjaan lagi, sisanya berharap mati karena tak lagi siap menanggung beban hidup.

Pandemi membuat kita menyadari betapa rapuhnya hidup. Wabah ini memberikan penderitaan yang tak terduga. Ia melukai dengan hebat. Kita punya cara masing-masing untuk menghadapi penderitaan hidup. Ada yang dengan kebisingan, ada yang berduka dengan diam. Mereka yang memutuskan untuk meratapi nasib di balik tirai, jauh dari lampu sorot dan keramaian.

Cara lain untuk menghadapi penderitaan tadi dengan berdiri tegak. Seperti karang yang keras kepala. Tapi apakah kita harus terus menerus menghadapi segalanya sendirian? Bisakah kita duduk, seusai jatuh, untuk menghitung nafas, mengumpulkan keberanian, dan menentukan kapan waktu untuk bangkit? Mungkin kita butuh waktu untuk menyadari bahwa tidak semua hal harus dihadapi saat ini juga. Mungkin kamu perlu mengambil waktu untuk mundur.

Tidak ada yang memaksamu selalu kuat saat pandemi ini.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet