Umar bin Khatab didatangi seorang Yahudi dengan membawa protes. Yahudi itu keberatan dengan kebijakan Gubenur Mesir saat itu yang menggusur rumahnya untuk pembangunan Masjid dan rumah gubenur. Kisah ini terlalu sering diceritakan dan kita tahu bagaimana ujungnya. Umar memberikan orang Yahudi itu tulang, memperingatkan Amru bin Ash yang lalai itu, dan ia mencabut kebijakan penggusuran yang hendak ia laksanakan.
Aku perlu membagi ulang kisah ini karena beberapa dari kawanku membawa hadis, seorang muslim mesti tunduk pada pemimpin dan tak boleh melawan mereka kecuali mengajak pada keburukan. Konteks protes dan melawan ini adalah pada pengesahan Omnibus Law cilaka. Ia berargumen, selama pemimpin itu masih memperbolehkan kita beribadah, beragama, dan berkeyakinan, maka tak perlu diprotes atau dilawan.
Kukira ada yang salah dari paradigma ini. Mengkritik, memperingatkan, dan protes adalah hal yang wajar. Ia bagian penting dalam bernegara dan menjadi umat. Nabi adalah panduan hidup, setelah beliau tak ada, kitab suci dan hadits semestinya jadi panduan. Berpegang teguh pada satu hal tapi menegasikan yang lain adalah kezaliman.
Kita tentu boleh berpegang teguh pada:
”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.”
Tapi lupa bahwa ada penjelasan lain yang mengikuti:
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).”
Apakah eksploitasi kelas pekerja, perusakan alam, dan penindasan terhadap manusia lain tidak termasuk dalam perkara maksiat? Bukankah tidak memberikan pekerja hak mereka adalah kezaliman? Bukankah menghapuskan larangan bagi pengusaha untuk membayar murah pekerjanya adalah kezaliman? Lalu apa yang membuat kita tak bisa memprotes atau mengkritik penguasa ini?
Jika Amru bin Ash bisa diperingatkan untuk menghapus kebijakan zalim karena seorang Yahudi yang protes, mengapa kita tak bisa melakukan hal serupa? Bukankah ada mekanisme Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang bisa jadi pengganti tulang, untuk mengoreksi kebijakan zalim Omnibus Law yang dibuat (pemerintah dan DPR). Mengapa harus taklid pada kebijakan zalim, sementara sebagai umat kita bisa melakukan koreksi terhadap hal itu?
Bukankah memperingatkan dan mengoreksi pemimpin juga ada dalam Qur’an? Bukankah Nabi Musa diperintahkan untuk melakukan koreksi atas kebijakan yang dibuat oleh Fir’aun dengan lemah lembut? Maka protes, dengan apapun yang kita bisa, kelembutan, tulisan, keberatan, adalah sah dan diijinkan.
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (QS Taha: 43–44).
Lalu apa yang bisa dilakukan sebagai umat dalam kondisi tirani? Kita bisa bersolidaritas, berserikat, saling bantu sama lain. Kita sebagai umat diminta membantu yang ditindas. Lantas jika kamu merasa punya kekuatan, maka bantu orang dengan kekuatanmu. Jika kamu punya uang, bantu sesama dengan uangmu. Jika kamu punya kemampuan menulis, berpikir, dan mengembangkan daya pikir, maka bantu sauaramu memahami bahaya Omnibus Law.
Larangan melawan pemimpin bisa diterjemahkan sebagai upaya makar, tapi bukan pembangkangan sipil dan protes. Bahkan jika harus melawan, bukankah ada teladan Imam Husain yang melawan kezaliman penguasa yazid? Lantas apa yang membuatmu ragu untuk melakukan kritik dan kontrol pada penguasa? Bukankah mengingatkan sesama muslim itu kewajiban? Atau kewajiban mengingatkan itu terbatas pada ibadah belaka dan bukan kepedulian atau solidaritas sosial?
Jika kamu hanya mengingatkan perkara jilbab, sholat, dan ibadah tapi diam saat sesama umat ditindas atau dieksploitasi, mungkin kamu hanya beragama dengan keinginan meraih surga indivdiual, bukan surga komunal di mana seluruh umat ada di dalamnya. Cara beragama yang demikian, bagiku sungguh sangat mengecewakan.