Setahun kemudian, saat bangun tidur dengan sinar matahari menginjak mata, aku masih ingat satu sore bersamamu di cafe itu. Double shot Espresso dengan satu gelas es batu dan senyum yang lebih indah dari pantai pasir putih saat pagi.
Saat kita berpisah tahun lalu, kukira hidup akan lebih baik, dan memang lebih baik. Ada banyak hal yang tak bisa diselamatkan, dunia yang lebih baik, kemenangan Argentina, perang dunia kedua, dan hubungan kita salah satunya.
Nasib seringkali berulah seperti garong, diam-diam merampok hal yang berharga untuk kita, lantas setelah habis dijarah, kita dibiarkan sendiri tanpa apapun.
Kamu mungkin tak akan membaca ini, aku juga tidak berharap banyak. Usahaku ingat tentang kita kerapkali berakhir seperti kerupuk yang disiram air. Lembek dan tak berdaya. Tapi bukankah itu yang membikin hidup layak dijalani?
Dua taun lalu jika kita diberi tahu bahwa akan ada masa di mana dunia berhenti bekerja, manusia tak lagi bisa bepergian, berpelukan bisa membunuh, dan cara terbaik untuk menunjukkan cinta adalah dengan membuat jarak, separuh penduduk dunia akan menganggapmu gila, separuh yang lain akan mengajakmu untuk terapi.
Kita tak pernah tahu apa yang ada di depan. Kita menjalani hari demi hari dengan siap siaga, tapi kadang, kita akan jatuh dan terjerembab dalam kegetiran yang teramat sangat. Beberapa dari kita mempersiapkan tabungan untuk menghadapi pensiun dini, sementara yang lain berpesta seperti tak ada hari tua.
Menjadi tua adalah usaha percaya diri bahwa kita akan hidup cukup lama untuk jadi pikun dan renta. Tapi kadang beberapa dari kita tak berjumpa hari tua dan berujung jadi mayat sebelum sempat menyapa uban. Itu mengapa aku berharap kita akan menciptakan kenangan baru, ingatan baru, daripada mengutuk yang telah lewat.
Mengutuk, murka, geram, dan sejenisnya hanya mengafirmasi amarah. Tak ada hal yang baik lahir darinya atau kukira demikian. Belakangan aku sadar, kemarahan juga bentuk emosi yang wajar dimiliki. Tidak ada yang salah dari marah, yang salah adalah agresi, kemarahan menggebu yang menginginkan kehancuran.
Kemarahanku pada nasib, ingatan yang tak bisa dilupakan, dan cinta yang penuh, membuatku sadar bahwa aku manusia. Masih mencintaimu, belum menyintas, dan masih berharap bisa kembali. Tapi hari ini aku sadar, tak ada hal baik yang bisa dicapai dari memaksa, tak ada hal baik yang lahir dari bersikap pasif agresif.
Jika kelak ingatan ini pada akhirnya tak bisa dihapus, aku akan menciptakan ingatan-ingatan baru. Kegembiraan yang akan membuatku melupakan keberadaanmu. Kegembiraan yang akan membuatku menyadari ada banyak hal di dunia yang layak dirayakan. Saat ini? Aku ingin ingat segala hal tentangmu dan membuat kenangan kita jadi berharga.
Kenangan kadang menipis hari demi hari, serupa sabun yang kita pakai setiap mandi, hingga mereka tak lagi sempurna, wanginya hilang, terlalu tipis, dan tak bisa kita pegang hingga akhirnya dibuang.