Hidup Utuh

dhani
4 min readFeb 26, 2022
Woman from Momoyogusa–Flowers of a Hundred Generations (1909) by Kamisaka Sekka. Original from the The New York Public Library. Digitally enhanced by rawpixel.

What doesn’t kill you, will evolve to kill you.

T/W Suicide

Sudah 10 hari saya hidup dengan insulin sejak divonis diabetes. Hidup yang awalnya terasa baik-baik saja, jadi berantakan dan harus memikirkan banyak hal. Sejak divonis, saya melakukan riset mandiri, tentu dengan segala keterbatasan yang dimiliki, untuk mencari tahu apa itu diabetes tipe dua dan penyebabnya.

Beberapa artikel dari situs kesehatan dan jurnal medis yang ada menjelaskan penyebab diabetes tipe dua adalah gaya hidup yang tidak sehat. Kurang bergerak, banyak mengkonsumsi karbo, alkohol, rokok, begadang, dan stres juga jadi pemicu. Berhari-hari saya masih belum bisa menerima nasib harus hidup dengan diabetes, tapi melihat penyebabnya saya jadi sadar, bahwa penyakit ini cuma masalah waktu saja.

Selama bertahun-tahun saya hidup dengan tidak sehat. Begadang hingga larut malam, makan yang tidak sehat, tidak pernah olahraga, dan selama tiga tahun terakhir depresi serius yang membuat saya beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Gaya hidup yang berantakan ini adalah bom waktu yang tinggal menunggu ledakan saja. Entah diabetes, stroke, atau yang lainnya.

Lucu sebenarnya, setelah bertahun-tahun konseling psikologis, melawan depresi akibat kehilangan pasangan dan pekerjaan, menyintas bunuh diri, saya malah bertemu dengan diabetes. Hidup seperti punya lelucon yang demikian sumbing. Bertahun-tahun melawan depresi dan stress, mampu survive menghadapi suicidal thoughts, malah berakhir dengan diabetes karena begadang dan stress.

Ini seperti kamu selamat kecelakaan maut tapi malah dipatuk ular berbisa. Selamat dari benturan tapi mesti melawan racun. Saya susah sekali menerima nasib ini. Setiap malam saya dibuat takut dengan segala kemungkinan-kemungkinan. Menjadi buta, diamputasi, stroke, gagal ginjal, dan berbagai kemungkinan lainnya. Tapi hidup macam apa yang dihabiskan dengan kekhawatiran?

Tiga hari terakhir saya olahraga lagi. Jalan kaki. 30 menit per hari dan meningkat tiap harinya. Saya berusaha mencapai target 10.000 langkah sehari. Berat rasanya. Kaki nyeri karena kram, lelah, malas, dan kadang ingin menyerah. Persetan dengan segalanya, jika memang harus mati, ya mati saja. Rasa takut, cemas, lemah, dan amarah bercampur jadi satu.

Di sela-sela ketakutan dan kecemasan itu, saya menelpon ibu. Ia memberikan semangat, berjanji mengirimkan ramuan jamu untuk saya, dan menghibur bahwa penyakit adalah upaya tuhan mencabut dosa. Saya tidak takut mati, kematian adalah hal yang wajar. Saya takut jadi invalid dan menyusahkan orang lain. Saya ingat betapa repot dan susah ibu saat merawat nenek yang buta karena diabetes.

Menyusahkan orang lain itu beban. Ia akan membuatmu merasa tak berguna dan harus terus menerus bergantung pada orang lain. Tapi kabar baiknya Diabetes adalah penyakit yang bisa dikontrol. Kamu bisa tetap hidup layak dengan syarat. Rajin olahraga, mengontrol diet, cukup istirahat, dan mengurangi stres. Terdengar sederhana, tapi pada praktiknya sangat susah.

Musuh terbesar orang malas seperti saya adalah konsistensi. Dulu seseorang pernah berkata, bahwa harapan adalah disiplin. Disiplin akan memberimu kekuatan, kesempatan, dan waktu untuk hidup lebih lama. Disiplin adalah konsistensi. Kamu tak bisa berharap olahraga sehari, diet sehari, akan membuatmu langsung sehat. Perjuangan sebenarnya adalah ketika kamu sendirian, saat lapar, saat lemah, saat tak tahu harus berbuat apa.

Karena diabetes ini saya bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru. Penyintas yang membuktikan bahwa dengan diabetes mereka bisa hidup layak, hidup normal, dan bermutu. Mereka memberikan tips, cerita, dan juga saran bagaimana supaya bisa hidup dengan diabetes dan tetap bahagia. Kuncinya masih pada disiplin pada gaya hidup dan olahraga teratur.

Saya divonis pada usia 35 tahun, dokter memberikan saran bahwa saya harus benar-benar mengontrol diet, supaya bisa hidup lebih lama. Di tengah wabah covid, ancaman perang dunia, dan juga keruntuhan ekosistem global kok mau hidup lama? Emang apa yang dicari. Belakangan saya merasa bingung, apa yang sebenarnya dicari dalam hidup jika masa depan terasa sangat suram?

Ada banyak hal yang membuat saya bersyukur. Teman yang baik, makanan yang enak, musik yang menyentuh perasaan, film yang menggugah, cerita yang membawa air mata, lelucon yang membuat gelak tawa. Justru saat saya merasa hidup sudah berakhir karena diabetes, tuhan memberikan saya perasaan baru, perasaan yang lebih tenang, yang lebih utuh.

Selama lima tahun terakhir saya berusaha untuk mengakhiri hidup. Beberapa kali mencoba bunuh diri karena kehilangan dan merasa tidak berharga. Justru saat divonis penyakit mematikan dengan segala resikonya, saya merasa sangat hidup, saya ingin hidup, saya ingin bertahan hidup dan menikmati sisa waktu yang ada sebaik-baiknya.

Pagi ini saya jalan 3 kilometer, langit cerah, di kejauhan merapi terlihat jelas. Udara pagi membuat saya gembira, jalan kaki yang awalnya menyebalkan jadi lebih menyenangkan. Saya masih bernafas, masih hidup, masih merasakan nikmatnya apel, tahu rebus, dan sambal terasi. Saya masih belum kehilangan apapun dan hidup masih panjang.

--

--

dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?