Hari Ketigabelas

dhani
3 min readSep 23, 2020

Your Favorite Books.

Aku jatuh cinta pada buku saat SD. Ketika itu di perpustakaan sekolah yang kecil, guruku mengumpulkan buku-buku tua, kebanyakan berisi soal statistik, catatan arsip, dan menjualnya ke tukang loak. Salah satu dari sekian banyak buku itu aku menemukan kisah petualangan. Aku lupa penulis dan judulnya. Buku itu bercerita tentang seorang anak yang bertualang naik gunung. Membawa bekal nasi kepal, abon, sambal, dan air minum. Aku membayangkan diriku sebagai anak itu. Bertualang menjelajahi hutan untuk naik gunung, bertemu kakek tua, dan memberangus gerombolan pembalak liar.

Saat SMP, buku-buku perpustakaan sekolah makin beragam. Ada cerita dari Agatha Christie, puisi Chairil Anwar, cerpen Kompas, cerpen A.A Navis, dan beragam cerita dari Balai Pustaka. Baru saat kuliah, melihat perpustakaan besar dengan tiga lantai di Universitas Jember, aku menyadari bahwa selama ini aku jatuh cinta pada buku, bukan kegiatan membaca itu sendiri. Di kampus aku meminjam buku-buku dari penulis Prancis seperti Jean Paul Sartre, Albert Camus, atau Victor Hugo. Berkenalan dengan Pramoedya Ananta Noer, N.H Dini, W.S Rendra, hingga Soebagio Sastrowardoyo.

Saat kuliah, aku pernah bekerja sebagai penjaga pameran buku. Honor untuk tiga hari bekerja adalah 400.000 yang aku habiskan untuk membeli buku-buku terbitan Jalasutra dan Ircisod. Saat itu, aku aktif di lembaga pers mahasiswa. Senior-seniorku meracuni bacaan yang berisi tentang penyair, novelis, filsuf, dan polemik sastra yang harus kubaca. Belakangan aku menyadari tidak semua buku bagus. Beberapa buku memiliki terjemahan sangat buruk. Terjemahan Jalasutra, Mitologi - Roland Barthes dikerjakan sangat amatir, sementara buku Mazhab Frankfurt terbitan Ircisod demikian berantakan. Saat itu aku berpikir, otakku saja yang busuk, tak mampu memahami alur logika filsafat.

Setelah mata kuliah habis, aku membaca novel-novel Indonesia. Seperti Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, Harimau-Harimau Mochtar Lubis, dan 7 Manusia Harimau Motinggo Busye. Aku juga. tak tahu mengapa urutan harimau itu muncul. Kukira aku terobsesi dengan manusia dan alam sejak SD. Ada yang banal, ada yang subtil, ada yang mengerikan dari usaha manusia menaklukkan alam, hingga pada akhirnya ada sihir yang membuat kita merasa perlu membuktikan diri dengan bergelut dengan yang bukan manusia.

Aku juga membaca novel pop, seperti Dealova, Cintapucino, dan Gege Mengejar Cinta. Saat itu aku juga membaca Cinta Tak Pernah Tepat Waktu yang ditulis Puthut EA. Lalu menemukan beberapa karya lama Pramoedya seperti Arok Dedes dan Bukan Pasar Malam. Bukan Pasar Malam adalah salah satu buku favoritku. Aku pernah menulis esai panjang soal buku itu. Salah satu kutipan penting buku itu menggambarkan hidup manusia ini tidak signifikan.

“Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah manusia, dan orang itu pun mencintai kita. Seperti mendiang kawan kita itu misalnya–mengapa kemudian kita harus bercerai-cerai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasar Malam.”

Belakangan aku memperlakukan buku sebagai usaha lari dari hidup. Lari dari kenyataan. Aku menemukan hidup yang lain dari buku yang ditulis orang. Bagaimana pejuang buruh di Itali bicara tentang keadilan, seorang perempuan di New York dibikin patah hati oleh orang yang tak pernah ditemuinya di internet, atau bagaimana nasib orang kafir bisa diselamatkan oleh keadilan tuhan dalam perspektif seorang sufi. Aku perlu menyelamatkan diriku dari kebisingan dunia. Dengan membaca aku hanya perlu diam dan menyimak apa yang ditulis orang lain.

Dunia memang seperti itu. Sunyi setelah kamu memahaminya.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet