If I could run away, where would i go?
Aku ingin pulang ke pelukan ibu. Mencium keningnya, tidur di pangkuannya, lantas mendengarkan ia membaca kitab suci. Aku tak lagi taat, kukira aku percaya tuhan, tapi ibadah kulakukan sebagai bentuk terapi, sebagai komunikasi, kamu tahu? Saat kamu rindu seseorang, kamu menghubunginya, bicara panjang, dan menghabiskan waktu bersamanya karena percaya pertemuan itu akan membuatmu bahagia. Ibadah, bagiku, semacam itu.
Ibuku berbeda. Baginya ibadah adalah kebutuhan, pemujaan terhadap yang paling terkasih. Ia berdoa dengan pajang dan lirih. Aku pernah mendengar ia mendoakan seorang guru ngaji yang tinggal di depan rumah kami, agar segera disembuhkan dari sakit ginjal. Lain waktu ia mendoakan seorang tukang becak yang anaknya masuk sekolah negeri tapi tak punya uang untuk daftar ulang. Ia mendoakan orang asing dengan ketulusan yang dilupakan. Kamu tahu? Ia tak akan mengingat kebaikan dirinya dan selalu mengingat kebaikan orang lain.
Aku merasa cara ibu beragama adalah oase di tengah gersangnya akal sehat spiritual. Kamu mungkin akan geli, akal sehat dan spiritualitas seperti oxymoron, dua kata yang saling bertentangan. Tapi jika kamu merasakan apa yang aku rasakan, saat membaca petuah-petuah, juga narasi ujub dari manusia-manusia bergama, kita akan menemukan betapa banal hidup beragama saat ini.
Kesalihan virtual yang disebarkan di media sosial kerap melahirkan kebencian baru. Orang-orang yang muak dengan firman-firman, perintah-perintah, kegetiran yang lahir dari rasa kesal bahwa tuhan digambarkan sebagai pendendam dan pemarah. Seolah-olah beragama itu sangat sempit, sesempit merasa terus menerus berdosa karena dulu pernah melakukan kesalahan. Atau merasa perlu terus menerus mengingatkan orang lain karena percaya itu adalah kebaikan.
Ibu pernah membagikan ayat-ayat, rekaman video ulama, dan juga bait-bait kisah para rasul di ponselnya. Ia bilang, tugas seorang beragama adalah beribadah, tugas saudara adalah saling mengingatkan. Karena setiap muslim di dunia adalah saudara, ia percaya mengingatkan sesama adalah kewajiban. Caranya bicara, caranya mengajak, dan caranya membuat seseorang beragama mungkin berbeda dan kami sepakat untuk saling menghormati. Selepas mengingatkan, ia tak akan memaksa, sama seperti aku tak melarang apapun yang ingin ia sampaikan.
Kukira tuhan yang disembah ibuku adalah tuhan yang mengampuni seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing dengan terompahnya. Atau orang berakal yang digambarkan oleh Imam Ali. Tuhan yang maha pengasih, pemurah dan pemaaf. Ia tidak akan menggali dosa-dosa sepele yang telah disesali, atau mengingatkan hal-hal buruk yang tak pernah disengaja. Adakah dosa yang tak disengaja? Kukira tuhan yang mencintai akan sadar bahwa menjadi dhaif, lemah, dan tak berdaya disertai dengan kelengkapan bahwa pada satu titik seorang umat pasti akan membuat kesalahan yang tak disadari.
Di rumah, di hadapan ibuku, agama bisa jadi menggemaskan. Atau kukira demikian.