Someone who inspires me.
Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib adalah dua orang yang membentuk pikiranku hari ini. Meski tidak seidealis dan sebaik mereka, cara kedua orang itu mempertahankan sikap sungguh memukau. Kamu tahu? Serupa bambu di tengah badai tidak mudah diterbangkan keadaan. Kukira meski sudah punya reputasi buruk, telah banyak megecewakan orang, aku berharap bisa jadi seperti mereka.
Catatan harian Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie membantuku memahami bagaimana dunia bekerja. Gie menulis dengan kegetiran dan memandang muram dunia. Sementara Wahib berpikir kritis dan logis memandang persoalan. Keduanya sama-sama berpijak dari sikap pesimis bahwa dunia bisa diselamatkan. Ini mengapa aku berharap bisa belajar dari keduanya bertahan hidup. Hanya pesimis yang bisa memandang dunia dengan apa adanya dan tetap hidup dengan kepala tegak.
Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib mati dengan tragis. Aku tentu tak berharap seperti ini. Tapi seperti Gie bilang, nasib terbaik adalah tak pernah dilahirkan, yang berikutnya adalah mati muda. Mereka yang mati muda tak akan jadi tua dan brengsek, jadi beban dan merepotkan generasi setelahnya. Aku berpikir hidup akan lebih baik jika kita bisa mempersiapkan kematian secara mandiri. Tidak merepotkan orang lain dan tidak membuat orang-orang yang kita sayang bersedih.
Bagaimana Gie dan Wahib memandang kemanusian membuatku percaya bahwa hak asasi adalah hal penting. Keimanan adalah hal yang personal dan tak ada satu manusia pun yang berhak merasa paling benar. Ini mengapa saat kuliah aku demikian gandrung mengulik isu-isu hak asasi. Aku tak mengklaim diri benar, aku selalu berusaha menawarkan cara pandang berbeda. Membaca buku sejarah, kajian agama alternatif, dan konflik kemanusiaan dunia membantukku toleran.
Gie dan Wahib percaya pada dunia di mana manusia bisa diperlakukan setara, terlepas keyakinan dan rasnya. Aku berharap kita bisa mewujudkan itu. Dunia tanpa diskriminasi, tanpa eksploitasi, dan dunia tanpa kebencian satu sama lain.