“Aku seneng kamu begini, jadi lebih religius,” kata temanku, usai membaca postingan Instagramku sebulan terakhir.
Ia bilang, banyak menemukan perbedaan dengan sosok aku di masa lalu. Orang yang gemar merisak, kasar, dan congkak. Tentu aku senang mendengar itu. Bukan karena dipuji, tapi karena dua hal. Pertama kawanku itu merasa begitu nyaman untuk bicara secara terbuka padaku, yang kedua karena ia melihat ada perubahan baik terjadi dalam hidupku.
Jika kalian mengenalku sejak sepuluh tahun lalu, mungkin akan menemukan sosok sombong yang gemar memaki. Aku menyadari dan mengakui itu. Saban hari menghabiskan waktu di media sosial untuk berkelahi dengan orang asing. Sekadar untuk dianggap jagoan, savage atau edgy. Hal yang sebenarnya sungguh dangal dan tak berguna.
Sejak konseling bersama psikolog dan memutuskan untuk beribadah lagi, aku menemukan hal-hal baru yang lebih berharga daripada pengakuan orang asing di media sosial. Ketenangan batin dan keberanian mengakui kekurangan diri. Sampai hari ini ada banyak hal yang aku sesali atas perkataan dan perbuatanku di masa lalu, pelan-pelan aku coba memaafkan diri sendiri atas itu.
Apakah ini artinya aku jadi orang yang lebih baik? Mungkin iya, mungkin tidak. Hingga hari ini kadang aku mudah terpancing amarah, berdebat dengan orang dengan niat mengoreksi bukan berdiskusi. Atau kadang juga membuat sarkasme dan reaktif terhadap hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan blokir. Nggak semua hal perlu direspon dan dibalas.
Aku menikmati proses ibadahku belakangan. Pelan, hati-hati, dan sederhana. Bukan hal-hal megah yang justru sangat mungkin membuatku riya dan ujub. Usaha menulis syukur sebulan terakhir sebenarnya adalah upaya melatih diri agar menghargai nikmat Allah dan menyadari betapa insignifikan aku ini sebagai hamba. Sepele belaka.
Apabila kalian menemukan hal baik pada tulisanku, itu karena doa-doa baik dan ilmu yang diberikan orang lain adaku. Jika ada salah pada lisan dan perilaku, itu karena aku belum benar-benar bijak jadi manusia. Karena bijak semestinya lahir dari sikap rendah hati, bukan keinginan untuk menginjak orang lain, hanya karena tidak suka dan benci.
Beberapa orang percaya kita butuh alasan untuk jatuh cinta, sementara di media sosial, kebencian bisa dilakukan tanpa alasan. Ada banyak jejak kebencian dan kemarahan yang kubuat. Lebih dari apapun, aku menyesalinya, meski demikian aku bersyukur bisa belajar dari segala kesalahan yang kubikin.
Mungkin kelak, jika aku sudah cukup bijaksana, cukup bisa memaafkan diri sendiri, nasib buruk yang kubuat karena laki kerdil, bisa membawa kebaikan. Barangkali memang aku perlu dibuat sedih dan depresi, atas segala sikap bengis yang kulakukan. Bahwa aku perlu merasakan jadi pihak yang dipojokkan dan disakiti, agar bisa lebih bak.
Aku percaya bahwa maaf itu tidak diberi, tapi diperjuangkan. Kamu perlu berusaha meraih maaf dengan perubahan perilaku. Maaf yang tidak disertai oleh perubahan sikap, hanya bual belaka. Untuk itu aku akan terus berusaha jadi lebih baik. Sebisa mungkin, setulus mungkin.