Ada banyak hal yang membuat kita tersesat dalam keinginan. Cinta yang yang tak berbalas, bir yang pahit, atau doa yang panjang. Kukira kita perlu membuat kesepakatan bahwa apapun keinginan kita, ada baiknya tak lagi berharap terlalu banyak. Harapan seringkali berulah seperti pisau tajam yang menusukmu pelan-pelan lalu ditarik secara tiba-tiba. Harapan juga kadang seperti menumpuk mesiu dan meledakannya tanpa aba-aba.
“Karena laku menyempurnakan kata,” katamu.
“Kau berbakat jadi seorang Narator. Segala hal jadi sangat dramatis bagimu,”
Kamu sedang duduk memandangi senja dan mendengar azan yang bersahutan. Di pertemuan terakhir kita, di atap sebuah perpustakaan, memandangi alun-alun yang dipenuhi kegembiraan.
“Dan mencintai tak pernah begitu sederhana,” katamu lagi.
Tak pernah ada cinta yang sederhana. Seperti juga tak pernah ada kehilangan yang sederhana. Ya meskipun aku tak pernah mempermasalahkan perihal cinta daripada kehilangan, soal cinta lebih baik aku biarkan mengalir. Seperti perigi di pematang sawah yang terus turun dan turun sampai mencapai titik datarnya. Kita tak pernah akan tahu kapan titik itu akan dicapai.
Lalu kenapa aku disana? Bersama kamu?
Kita membahas mengenai keinginan-keinginan. Mengenai hujan, mengenai masa depan, dan mengenai kelulusan. Tapi aku belajar untuk tidak terlalu banyak berharap. Seperti kubilang. Harapan adalah pisau sementara aku benci benda tajam.
Setiap kamu bicara aku hanya diam. Memandangi senja yang rubuh pelan-pelan. Membuat menara pemancar gelombang radio di ujung alun-alun seperti tusuk gigi yang rapuh. Perlahan menghitam serupa arang dan lumat ditelan kegelapan.
“Lalu maumu apa?” kamu bertanya. Lagi.
Apa musti kutafsirkan dari percakapan-percakapan kita? Mungkin aku hanya sedikit paranoid. Aku cenderung abai pada hal-hal sentimentil. Aku selalu diajarkan untuk menyukai ketakutan-ketakutan. Percaya jika manusia pada sejatinya adalah pengecut. Pengecut yang selalu bersembunyi dan waspada untuk bisa bertahan hidup. Perihal cinta? Sudah kubilang padamu bahwa itu adalah perkara harapan dan karena itu aku belajar untuk tidak terlalu banyak percaya pada cinta.
“Sebelum lidahku ngilu dan yang lewat tak mungkin kaucatat. Apakah kamu akan tetap diam?” kamu terus bertanya.
Aku bukan tak mau menjawab. Kita sepertinya terlalu banyak melupakan. Di tanah ini, gegar sejarah dan amnesia adalah penyakit kebanyakan. Kukira bukan obesitas atau hipertensi yang menjadi penyebab kematian tertinggi. Tapi kealpaan. Kita cenderung untuk melupakan banyak perkara yang membuat luka.
Seperti pembantaian, segelas teh hangat, semangkuk bakso, pantai yang sepi, perjalanan kereta, wangi laut dan perahu yang bocor. Kita selalu melupakan itu semua. Tapi tak pernah lupa kapan tanggal gajian dan waktu liburan bukan?
Kesenangan dan hingar bingar hiburan membuatku beradaptasi kepada rasa tidak nyaman. Bahwa sebenarnya kita adalah laron-laron yang menghinggapi pelita. Kita menyenangi cahaya, meski pada akhirnya kita bisa terbakar karena panasnya. Kesenangan dan keinginan itu juga hal yang sama. Pembunuh yang meraba pelan-pelan kewaspadaan kita. Lalu menikam pada saat yang paling tepat.
“Adakah batas dari perasaan, ketika melulu kulayarkan segenap gelisahku.” katamu.
“Seperti apa?”
“Ketika, ah, kusiksa diri untuk tak bilang sayang dan rindu kepadamu,” jawabmu.
Aku tertegun. Jawaban mengambang. Aku ingin kamu tahu, aku masih sayang dan ingin terus mencintaimu. Aku ingin menjawab ini, tapi kata-kata seperti hilang dari mulut, dan suaraku perlahan tenggelam dengan kebisingan jalan.
“Ah tidak. Kukira manusia dilahirkan dengan kesombongan. Itu sesuatu yang telah ada dalam diri kita. Cinta yang tulus, harapan, rindu, dan segala emosi yang menyertainya. Kerepotan yang sudah ada seumur peradaban manusia itu sendiri,” jawabku.
Ada baiknya kita bersikap sombong. Bersikap tak mau peduli dan membiarkan perjalanan nasib menemui narasinya sendiri. Kukira kita berhak sombong, berhak untuk menjadi anak-anak, dan berhak untuk berbuat bodoh.
Tak selalu dan tak seharusnya manusia bersikap sempurna. Itu adalah penyimpangan. Jika manusia sempurna lebih baik ia jadi malaikat. Ketidaksempurnaan dan penyimpangan itu yang membuat manusia sempurna.
Hawa semakin dingin dan gelap pelan-pelan menyergap. Lampu mulai bermunculan dan dengung doa dari mesin pengeras masjid menyambut gelap yang makin pekat. Lampu jalanan membuat bayangan para pedagang seperti boneka. Sementara kita masih berdiri berdua seperti sepasang kekasih yang akan berpisah selamanya.
Tidak seperti kau, aku benci pengajian yang mekanis. Para lebai masjid memutar kaset-kaset untuk menunggu waktu adzan tiba. Seperti tugas dan kemampuan suara manusia terlalu remeh untuk kemudian membaca kitab suci. Kadang aku berharap semua kaset pengajian dan doa dihancurkan. Sehingga setiap hari ramai suara corong masjid dengan manusia yang membaca sabda.
“Kamu potong rambut?” kataku.
“Iya. Mami yang potong. Kamu suka?” Tanyamu.
Aku hanya tersenyum. Tentu saja aku suka. Bodoh. Sial. Aku selalu lupa. Rambutmu yang kehitaman memanjang. Kita akan berpisah dan aku takut tak akan bisa melihat rambutmu, senyumanmu, dan percakapan kita. Aku selalu membenci pertemuan, sementara jarak menjejal duka melukai waktu. Kamu tahu? Jarak mengajarkan kita kesabaran dan menghargai pertemuan. Itu kenapa banyak yang menganggap perpisahan adalah peristiwa duka.
“Kamu akan pergi ke Bali? Kapan? Aku akan rindu kamu. Aku akan menyesali setiap jarak yang ada di antara kita,” kataku.
“Jarak selalu menciptakan luka, juga rindu, juga kecemburuan. Ada banyak hal yang diciptakan jarak. Jadi kukira ada baiknya kau belajar untuk bersabahat dengan jarak,” katamu.
Kenapa jadi menyalahkan jarak? Aku kira saat jatuh cinta kita bukan hanya bersiap untuk menghadapi pengkhianatan, tapi juga harus bersiap untuk bersekutu dengan jarak. Sebuah perjuangan melawan ketiadaan. Dekat dan jauh kukira hanya masalah perasaan. Cinta adalah segala sumber dari masalah perasaan.
“Kamu pernah jatuh cinta?” katamu.
Tentu saja bodoh! Saat ini denganmu. Dengan keberadaanmu. Dengan ide tentang kamu. Dan segala hal tentang kamu! Aku menyakitimu dan kamu akan pergi. Jadi itu kau punya hak untuk kemudian tidak peduli. Kenapa kita masih berdebat mengenai jarak?
“Tidak,” jawabku.
Aku tak mau direpotkan soal cinta. Seorang kasmaran tak butuh cinta. Ia butuh belaian hangat. Ciuman panas dan dekapan erat. Semua tentang nafsu badaniah. Kita bertemu, berpelukan, berciuman, saling memandang dan kemudian bercinta. Ya tentu saja disela-sela itu kita berbincang, berdebat dan berdiskusi. Kata-kata tak punya tempat dalam persetubuhan.
Sebentar kenapa kemudian aku berpikir sejauh itu? kau bahkan tak pernah tau (atau jangan-jangan tak peduli) kalau aku mencintaimu. Sialan. Ini pasti gara-gara sate kambing yang kumakan semalam. Sialan. Lagian kenapa sore ini juga kenapa lambat sekali berlalu. Seolah-olah waktu dan senja bersepakat untuk membuatku jatuh cinta lagi padamu.
Sudah cukup aku dihajar keinginan-keinginan. Harapan-harapan. Aku belajar untuk tidak lagi percaya pada mataku. Tapi sial! Kau manis sekali saat senja datang!
Kamu lantas bersiap untuk pulang. Mengemas barang-barangmu. Mengambil tas dan menuju tangga.
“Kamu mau pulang? Sekarang? Apakah kita akan bertemu lagi?”
“Sebab pada jarak atau waktu, akan kalis pada ketiadaan” katamu.
“Jika mencintai adalah perkara bentuk dan kehadiran. Maka sudah pasti mereka yang jatuh cinta adalah atheis,”
“Kenapa bisa?”
“Lha. Seumur-umur aku tak pernah lihat bentuk cinta, bentuk waktu, bentuk kentut dan bentuk pedas,”
Lalu kau tersenyum. Untungnya segera kubuang mukaku menghadap alun-alun. Aku tak mau dikerjai cahaya lagi. Dikerjain waktu lagi. Dikerjai pesonamu. Cukup aku jatuh cinta padamu berkali-kali sehingga lecet dan bernanah perasaanku. Sudah cukup. Sedikit senyum lagi darimu kukira aku akan tunduk turun pada ego. Mengajakmu menikah. Ah menikah. Mengurus kamar saja tak becus ingin mengajakmu menikah? Sial! Sial!
“Dari bebaris sajak kutuliskan. Rindu tak pernah lunas dibayar,” katamu tiba-tiba.
“Hmm,”
“ Kok hmm?”
“Aku tak pernah paham puisi. Tak pernah menyenangi sajak. Mereka berbelit seperti rimbunan jerami,” jawabku.
“Nah kau sedang berpuisi,”
“Ini bukan puisi. Ini argumen,”
“Maka argumenmu adalah puisi yang indah,”
Kita berdua diam. Seperti bersepakat bahwa petang ini sudah benar-benar punah. Membiarkan hawa turun sedikit sejuk. Setelah seharian panas menghajar . Lalu ponselmu berbunyi nyaring. Seperti biasanya kau membiarkan sebentar, sebelum kemudian memutuskan membuka pesannya.
Wajahmu lalu berangsur riang. Sekerat senyum, meski samar, kamu sembunyikan. Siapa pengirim pesan itu? Siapa yang bisa membuatmu tersenyum? Aku seperti marah. Seperti cemburu. Seperti diikat dengan tali dan dipaksa menelan biji kedondong. Lalu kau membalas pesan itu. Pelan dan tak tergesa karena kau yakin masih ada waktu di dunia ini hanya untuk sekedar membalas pesan.
Usai. Lalu kamu memandangku, dahimu berkerut, lalu tersenyum. Seperti membaca pikiranku kamu lalu menjelaskan bahwa pesan itu dari pembimbingmu. Mengubah jadwal pertemuan karena harus pergi melakukan penelitian lanjutan. Hatiku plong tapi wajahku datar. “Kabar baiknya. Besok kita bisa makan sate klatak, ke keraton lalu lanjut ke Yusuf Agency. Mencari buku yang kamu mau.”
“Sepertinya aku mencintaimu,” kataku tiba-tiba.
“Tapi sayangnya aku tidak,” katamu.
Dan gelap makin menelan malam.