Gelato

dhani
3 min readOct 23, 2023
Still Life with Apples and Pitcher (1872) by Camille Pissarro. Original from The MET museum. Digitally enhanced by rawpixel.

“Harusnya kita makan nasi bebek saja,” perempuan itu menyeka keringat di dahinya lantas lanjut memotong steak medium rare yang ia pesan. “Ini mahal sekali dan ngga sepadan dengan rasanya.”

“Tapi kamu habiskan juga. Ngga bersisa lagi, bahkan sayuran itu juga kamu makan,” kataku.

“Karena sayang! Aku ngga rela mengeluarkan 180 ribu untuk daging alot dan kentang goreng yang lembek ini,” katanya usai menelan suapan terakhir dalam mulutnya.

Malam ini, setelah latihan di Gym, aku memutuskan mengajaknya makan malam. Aku sedang tak punya uang banyak, cukuplah untuk kami berdua. Lagipula semenjak pengumuman calon presiden dari anak presiden yang masih jadi walikota kemarin, mood perempuan ini uring-uringan. Seperti hendak berperang, entah dengan siapa, tapi ia selalu menantang siapapun yang bahkan memandangnya dengan salah.

Emosi di kepalanya juga tidak selesai juga setelah makan, tapi usai melumat 3 scoop gelato rasa nanas dengan toping kismis dan coklat, kemarahannya mereda.

“Aku ngga marah karena dia nyapres, siapapun berhak jadi presiden, wakil presiden atau bandit sekalipun, tapi setidaknya ia bisa jujur dan menyampaikan apa yang ia mau,” katanya.

“Ya, ya. Selalu menarik, bukan?” Suara keramaian kota hampir menyembunyikan kata-kataku saat dia hendak mengambil sendok untuk makan sesuap gelato. Ia selalu suka gelato karena warna, bukan rasanya, dan kami selalu berkelakar perihal ini. Apakah ia akan memilih PDIP, Golkar, atau Demokrat? Warna-warna partai yang mirip di gelas gelato yang ia pilih.

“Apa yang menarik?” tanya perempuan itu, mengaitkan jari-jarinya dengan jemarinya. Matanya mengikuti orang-orang yang menyeberang jalan, sesekali melekat pada mobil yang melintas, bibir bawahnya terjepit di antara giginya lantas menyuapkan gelato kuning rasa nanas dengan gegas.

“Setelah pilpres ini, kita akan bertikai lagi atau bercumbu? Atau bahkan terus menjadi musuh?.”

“Bisa jadi aku mati dan kamu menikah lagi?” Sinisme terdengar dalam suaranya yang disambut dengan gelak tawa. Tawa itu padam ketika ia melihat wajah seriusku.

“Kita berdua,” katanya meletakkan gelato di meja dan memandangku dengan serius, “semua orang. Pernahkah kau memikirkan berapa banyak pendapat yang mereka punya untuk dibagian soal calon pilihan presidennya? Lihatlah pria di sana,” Ia mengangkat tangannya untuk menunjuk seorang pria yang membawa karangan bunga di seberang jalan.

“Bagaimana jika ia baru saja membeli bunga untuk cinta sejatinya, siap untuk membuatnya gembira? Bagaimana jika ia membawanya ke ibunya yang sakit untuk membuatnya senang? Mungkin ia sedang menjalani hari yang buruk dan membeli bunga itu untuk dirinya sendiri? Ada milyaran orang dan mereka semua memiliki warna kesukaan dan lagu favorit yang mereka nyanyikan di Happy Puppy. Mereka semua memiliki pandangan politik yang membuat kita berbeda satu sama lain. Barangkali mereka juga memiliki mimpi yang besar. Beberapa dari mereka telah memiliki segalanya saat berusia enam belas tahun, dan yang lain berada di usia empat puluhan dan menyesali semua hal yang tidak mereka lakukan ketika mereka muda. Mereka khawatir, mereka berdebat, mereka mencintai, dan mereka menangis hingga tertidur. Mereka semua terpisah, namun begitu terhubung saat pilpres ini,” katanya.

“Kita sedang membahas pilpres, bukan soal cinta,” kataku mengambil sesendok gelato yang rasanya luar biasa asam dan membuatku menyipitkan mata.

Perempuan itu berhenti, menatapku dengan matanya yang besar dan bulat. “Mereka semua memiliki impian untuk diwujudkan. Pilpres ini bagi mereka adalah satu jalan mewujudkan itu. Terkadang aku bertanya-tanya berapa banyak harapan yang mereka simpan sampai demikian getol berkelahi di media sosial,” ia masih tak puas dan melanjutkan dengan suara lebih kencang.

“Apa kesan yang dimiliki para capres itu di kehidupan orang lain. Apakah mereka bahkan akan bertemu langsung dengan capres yang mereka idolakan,” dia merapikan sehelai rambut di belakang telinganya kemudian tersenyum lantas membersihkan tumpahan gelato dari ujung mejaku.

“Aku tidak tahu tentang semua orang lain yang mendukung capres ini,” katanya, “tapi aku tahu tentang diriku. Aku punya banyak cerita untuk diceritakan, tetapi yang paling aku sukai adalah yang membagikan ceritaku denganmu. Kau tidak hanya meninggalkan kesan di kehidupanku — kau membuat cerita kita menjadi milik kita bersama,” kata perempuan itu.

“Tapi tetap saja, kita sedang membahas capres, dan bukan rencana memiliki anak,” kataku.

“Itu dia, sayangku. Itu dia,” katanya tersenyum.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet