Seminggu lalu aku masuk rumah sakit karena Covid-19. Aku lemas, tak berdaya, batuk terus menerus, dan mengalami demam tinggi. Di rumah sakit dokter menemukan hal lain. Aku memiliki kandungan gula darah yang terlewat tinggi, setelah melakukan test, aku dipastikan memiliki diabetes melitus.
Aku baru tahu sehari kemudian. Pagi hari saat dokter memeriksa tekanan darahku, jumlah kandungan gula darah, dan ia menyampaikan aku harus menggunakan insulin sebelum sarapan. Saat itu dunia sepertinya berhenti. Aku memang mengalami obesitas, kurang olahraga, dan sering cemas, tapi diabetes? Aku merasa bahwa segalanya berakhir.
Bertahun lalu nenekku juga menderita diabetes. Ia buta, tak mampu mengerjakan hal-hal sepele seperti buang air dan makan, di kepalaku diabetes adalah monster mengerikan yang merebut mutu hidup seseorang. Aku tak ingin buta, tak ingin invalid, dan banyak hal yang justru membuatku makin takut.
Di kepalaku diabetes serupa ancaman, sebuah vonis, akhir dari hidup. Aku bisa saja gagal ginjal, buta, atau memiliki luka yang tak akan pernah sembuh. Dokter yang merawatku hanya menjelaskan bahwa seorang penderita diabetes bisa hidup normal, beraktifitas seperti biasa, suntik insulin hanya satu cara agar kita bisa hidup wajar seperti yang lain.
Aku merasa bahwa dokter hanya menghibur, tapi ya aku yang menjalani hidup dengan insulin ini. Menyuntik di perut sebelum makan dan sebelum tidur. Tiap hari, seumur hidup. Ia rutinitas yang mengerikan, mencabut hal-hal sepele yang membuatmu bahagia, makan enak, dan tidur nyenyak.
Di rumah sakit aku selalu menyuntikkan insulin sebelum makan. Jarum itu menusuk perutku tiga kali sehari sebelum makan dan sekali sebelum tidur. Aku menangis dan beberapa kali merasa segalanya tak akan kembali normal. Aku tak akan bisa makan nasi, harus olahraga, dan yang paling buruk, menyuntikkan insulin setiap saat hanya untuk bisa bertahan hidup.
Di hari kelima aku dirawat di rumah sakit, dokter lain menemuiku. Ia lebih detil menjelaskan perihal diabetes. Aku masih bisa hidup lebih bermutu, ada obat yang bisa menggantikan insulin pen. Tapi lebih dari itu, mengubah gaya hidup, olahraga, cukup istirahat, banyak tidur, mengurangi konsumsi nasi, akan membuatku lebih panjang umur.
Dokter baru ini menjelaskan dengan sabar bahwa vonis diabetes ini hal baik. Setidaknya aku tahu lebih awal, jadi masih punya waktu untuk memperbaiki diri. Biasanya lima tahun setelah ketahuan diabetes, organ-organ tubuh kita akan mulai tak bekerja, dan saat itu terjadi biasanya sudah terlambat. Sementara aku masih punya dua-tiga tahun untuk menurunkan berat badan, mengubah pola hidup, untuk bisa hidup lebih lama.
Aku enggan menyerah. Aku mulai coba cari tahu apa saja yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita diabetes. Makanan apa saja yang baik, olahraga apa saja yang bagus, dan bagaimana cara paling sehat untuk menurunkan berat badan. Aku belum mati, belum buta, dan belum berakhir. Setidaknya Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup lebih lama.
Kita seringkali mengabaikan betapa nikmatnya hidup, sampai divonis penyakit yang nyaris membunuh. Aku sendiri kerap tak bisa menghargai hal-hal penting dalam hidup sampai ia hilang atau pergi. Tapi mungkin diabetes ini akan membuatku berhenti cemas, lebih banyak olahraga, dan menghargai hidup lebih baik lagi.