Demokrasi itu sistem buruk, ia tidak menawarkan kesempurnaan. Bahkan orang-orang yang menjadi penganjur dan pembela demkorasi kerap jadi korban sistem itu sendiri. Kita bisa melihat sisi buruk demokrasi di Amerika Serikat saat ini, orang orang memilih Trump sebagai pemimpin. Sistem serupa juga yang dulu menghukum Socrates dengan kematian melalui pemungutan suara.
Socrates, pemikir yang demokratis dan liberal itu, memaksa seluruh pengikut dan muridnya untuk segera menjalankan vonis kematian. Baginya demokrasi, terlepas buruk dan jeleknya, adalah yang paling masuk akal bagi mereka yang punya nalar. Baik terpilihnya Trump atau vonis mati Socrates lahir dari sistem demokrasi, di mana perwakilan orang kebanyakan memberikan suara mereka untuk sebuah kebijakan yang patikular.
Menyebalkan? Tentu saja. Buruk? Belum tentu. Tapi saya terngiang dengan sebuah anekdot dialog antara pendukung Trump dan seorang tetangga muslim yang tinggal disebelah mereka.
“Tolong jangan benci kami karena kami memilih Trump,” kata si Anglo Saxon.
“Oh tentu saja tidak, kukira sudah jelas kamu memilih Trump karena membenci kami,” kata si muslim.
Demokrasi memberi ruang pada dua manusia dewasa bertanggung jawab untuk bertukar pendapat. Berdebat dan mempertahankan sikap. Maka yang penting adalah membaca apa yang tak terucap dalam setiap pemilihan kubu. Jika kamu masuk dalam satu barisan dalam orang yang mengobarkan sentimen rasialis, kebencian terhadap agama yang berbeda, punya rekam jejak kekerasan terhadap minoritas, maka jangan salahkan orang menganggapmu satu jenis jagal.
Sebaliknya, jika kamu selalu membela kelompok orang yang dianggap oleh satu kelompok agama sebagai ahli neraka, pelaku dosa, penyubur azab, dan penista agama, terlepas segala capaian pribadi yang kamu buat, maka kamu akan selamanya dicap sebagai setan liberal. Label itu hadir melalui pilihan sadar, semakin buruk, karena banyak orang hanya melihat hitam putih, bersama kami atau melawan kami.
Bung Hatta menulis sebuah risalah penting tentang bagaimana kita semestinya melihat demokrasi dan perbedaan pendapat.
“Sedjarah Indonesia sedjak 10 tahun jang achir ini banjak memperlihatkan pertentangan antara idealism dan realita. Idealisme, jang mentjiptakan suatu pemerintahan jang adil jang akan melaksanakan demokrasi jang sebaik-baiknja dan kemakmuran rakjat jang sebesar-besanja. Realita dari pemerintahan, jang dalam perkembangannja kelihatan makin djauh dari demokrasi jang sebenarnja.”
Tulisan itu dibuat bertahun lalu, ia tetap relevan hingga hari ini, dan bicara banyak tentang bagaimana sebenarnya kita sedang mencari bentuk. Atau dalam bahasa bung Hatta “Demokrasi bisa tertindas sementara waktu karena kesalahnnja sendiri, tetapi setelah ia mengalami tjobaan jang pahit, ia akan muntjul kembali dengan penuh keinsjafan.”
Demokrasi seperti buffet. Kamu ambil yang kamu butuhkan, jangan ambil semua. Berbagi dengan sesama dan jangan paksa orang suka pilihanmu. Kamu bisa berpikir bahwa pendapatmu yang paling benar. Bahwa saat ini ada invasi paham asing, orang-orang yang hendak mengubah tatanan sosial yang kamu pikir sudah ada sejak dulu. Tapi kamu mesti paham, tak pernah ada yang benar-benar abadi, tidak tafsir agama dan tidak juga pemahaman idiologi.
Demokrasi tidak memberimu hak mutlak, ia malah dengan jelas membatasi ruang lingkup pergerakanmu. Hormati hak dasar orang lain. Maka jika kamu punya pendapat, maka utarakan, tapi jangan dengan menyerukan kebencian dan seruan tindakan kriminal. Mengejek ide seseorang bukan tindakan kriminal, seperti juga mengatakan bahwa satu ras tertentu biang keladi masalah.
Seruan kebencian punya tendensi untuk membuat orang atau sekelompok manusia melakukan tindakan kejahatan. Seperti ayo bunuh, ayo serang, ayo libas, ayo buldoser, ayo pancung dan sejenisnya. Maka sebenci apapun kamu, jika ujaran itu sekedar bilang dasar jawa sungkanan, batak jujur, cina kreatif, atau arab hemat, ia bukan seruan kebencian, ia adalah stereotip.
Demokrasi memberi setiap orang kebebasan berpendapat dan berkeyakinan, tapi tidak memberikan hak pada siapapun untuk menyebarkan seruan kebencian dan kebohongan. Membalut argumen dengan kepalsuan, manipulasi, data yang salah, dan framing bukan sikap demokratis, itu usaha culas manusia yang keji.
Maka dewasalah, menerima kekalahan itu satu proses mendewaskan, dalam demokrasi itu serupa dengan pengobatan diri. Kamu ga bisa menerima hasil demokrasi hanya jika ia berpihak padamu. Misalnya teriak-teriak mendukung dan membela demokrasi, jika jagoanmu menang atau dibela, jika tidak teriak-teriak ini sebagai sistem korup yang gagal.
Menganggap demokrasi sebagai sistem yang memberikan kebebasan sebesar-besarnya itu ya salah. Karena toh kita kemudian mesti mengakomodir, menjaga, menghormati, menjamin, dan memberikan ruang pada mereka yang bersebrangan dengan kita. Kalau kamu bilang aksi demonstrasi buruh itu ekspresi kebebasan berpendapat, semestinya orang dzikir dan istigosah masal untuk mendoakan bangsa ya juga.
Berabad lalu seorang perbudakan adalah hal yang dilegalkan, dibenarkan, dan praktik yang biasa. Sekarang atas nama kemanusiaan ia dilawan dan ditentang. Berabad lalu setiap orang dianggap ahli dan pakar usai melewati serangkaian proses pendidikan yang ketat dari guru yang mumpuni. Sekarang dengan gadget anda bisa berpendapat dengan apapun dan bagaimanapun.