Kukira daripada berdebat tentang mengapa kita harus punya anak, lebih baik berdebat tentang bagaimana sih kondisi yang ideal bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Dengan begini mereka yang tak mau punya anak dan yang punya anak bisa turut berpendapat.
Lho kok orang yang ga punya anak perlu berpendapat soal lingkungan anak tumbuh? Anak tidak hanya hidup dalam lingkup kecil keluarga, tapi juga ekosistem yang lebih luas. Masyarakat dan sebagai bagian dari masyarakat, kita punya imaji tentang kehidupan yang ideal.
Aku menolak punya anak karena banyak hal, yang paling penting, karena aku tak punya hak. Aku bukan pihak yang akan menanggung proses kehamilan 9 bulan, rasa sakit proses persalinan, dan juga kecemasan akibat kurang tidur usai melahirkan.
Ada banyak alasan seseorang memutuskan untuk tak punya anak. Aku salah satunya merasa bahwa trauma kolektif, dari keluarga yang berantakan, membuatku cemas akan mewariskan hal itu pada anakku. Orang tua kita tak pernah menyadari ini dan aku ingin memutus mata rantai trauma itu.
Generational trauma is a traumatic event that began decades prior to the current generation and has impacted the way that individuals understand, cope with, and heal from trauma. Sampai aku bisa sembuh, bisa tahu bagaimana mengatasi ini, punya anak hanya akan menambah luka baru.
Aku menyadari bahwa saat ini hidup demikian getir dan muram. Eksploitasi alam berlebih membuat perubahan iklim menjadi sesuatu yang mengerikan, setelah itu sumberdaya yang dikuasai segelintir orang membuat banyak kelangkaan, ancaman perang dunia membuat aku merasa cemas mewariskan dunia yang gelap ini.
Kembali ke pertanyaan awal apa kondisi ideal bagi anak untuk bisa tumbuh dan berkembang secara sehat? Aku percaya orang tua yang sehat secara mental, memiliki kemandirian finansial, berada dalam lingkungan yang mendukung mereka untuk bisa belajar, dan yang paling penting mendidik mereka untuk punya empati.
Sangat rumit dan abstrak? Tentu saja. Apa sih yang dimaksud lingkungan yang mendukung anak untuk bisa belajar? Saat ini anak dipaksa untuk belajar agar mereka bisa masuk ke sekolah favorit, agar mereka bisa jadi orang, harus ikut les ini itu, belajar ini itu, karena di kepala orang tua, jika mereka bisa sukses sejak dini, akan sukses ketika besar.
Pola didik semacam ini membuat anak jadi cemas dan tertekan. Aku bagian dari produk semacam itu. Alih-alih mencintai pendidikan sebagai tujuan pembelajaran, aku membenci belajar itu sendiri, karena mengasosiasikan belajar sebagai sesuatu yang menyiksa, penuh ancaman, dan kebencian.
Aku berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan standar dari orang yang punya anak. Misalnya: “Kamu ga tau rasanya punya anak, ntar kalau punya kamu akan tahu betapa bahagianya.” Iya, aku sadar. Aku juga pernah tahu rasanya dipukulin orang tua karena mereka ngga tahu caranya mengkomunikasikan amarah dengan sehat, aku tak mau melakukan hal serupa pada anakku.
“Punya anak akan bikin kamu matang dan makin bijak”
Jika aku harus punya anak dulu untuk bijak, artinya aku tidak layak untuk punya anak sejak awal. Kebijakan lahir dari kesadaran diri sendiri, pergulatan dari pengalaman, jika aku harus beranak dulu untuk bisa mencapai kebijakan ini, ada yang salah dari caraku hidup.
“Kalau tua nanti kamu akan kesepian, punya anak akan menemanimu,”
Betapa celakanya aku jika memutuskan punya anak karena aku tak ingin hidup sendiri dan kesepian. Anak lahir hanya untuk menemani orang tua dan melimpahkan tanggung jawab pada orang lain. Anak bukan suster gratis yang kamu besarkan dengan harapan dia akan mau mengurusmu.
Ibuku adalah contoh anak yang dengan gembira merawat nenekku, seorang penderita diabetes yang tak bisa mengurus dirinya sendiri. Ibu merawat nenek dengan niat ibadah, bahwa kewajiban anak untuk merawat orang tuanya. Jika kelak hal serupa terjadi, aku akan dengan rela merawat ibuku, tapi aku tak ingin anakku melakukan itu.
Aku mengucapkan terima kasih dan rasa kagum pada tiap anak yang merawat orang tuanya dengan sikap tulus. Aku mencintai orang tuaku, bersedia merawat mereka, tapi tak sampai hati melakukan hal serupa pada keturunanku.
Salah satu tema yang aku bicarakan setiap dekat dengan seseorang adalah membahas tentang masa depan, keputusan memiliki anak, dan bagaimana kami akan menjalani masa tua. Aku selalu bertanya agar kami bisa bebas dan hidup dengan sebaik-baiknya.
Maka sekali lagi, ketimbang berdebat soal kenapa kita perlu punya anak, kenapa tidak dimulai dari pertanyaan, kondisi ideal macam apa yang baik untuk punya anak. Pembicaraan ini bisa dimulai dari pasangan dengan keputusan akhir ada pada ibu yang akan melahirkan anak tadi.