Saya kira 26 April mesti diberi warna merah terang pada tanggal kalender. Karena hari itu 90 tahun yang lalu seorang penyair lahir dan menghantui Indonesia untuk selamanya. Seorang penyair yang mati karena penyakit kelamin dan dielu-elukan sebagai pembaharu. Namun lebih dari itu Chairil Anwar, si penyair jalang itu, adalah seorang yang kesepian. Seseorang yang hanya hidup untuk sendiri dan ditinggalkan.
Mari kita mulai membayangkan pada sebuah pagi 26 April 1922. Seorang pamong praja bernama Toeloes, yang saat itu barangkali berusia 30an, tengah tersenyum bangga menatap istrinya Saleha. “Aku telah mendapatkan seorang lelaki. Kelak ia akan mewarisi darahku,” katanya dalam hati. Medan pada hari itu serasa seperti di halaman surga. Kebahagiaan menyeruak di antara tangis seorang bayi kecil bernama Chairil Anwar.
Bertahun kemudian saat Chairil lepas berusia 19 tahun ia berpindah dari medan ke Jakarta. Di sini penyair kita ini tak lulus Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Namun mengenyam pendidikan sejak tingkatan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) telah membuatnya fasih bahasa asing. Juga mengakses sastrawan-sastrawan terkemuka dunia macam Auden dan Whitman.
Salah satu yang lantas ia gandrungi adalah penulis Perancis André Paul Guillaume Gide. Kelak salah satu bukunya diterjemahkan Chairil sebagai Pulanglah Ia si Anak Hilang.
Pada usia 20 tahun Chairil Anwar mencatatkan dirinya dalam sejarah sastra Indonesia setelah salah satu puisinya termuat di Majalah Nisan pada tahun 1942. Adalah paus sastra Indonesia, HB Jassin, orang yang konon pertama kali menemukan bakat Chairil. Salah satu syair masyur yang diciptakannya adalah sajak Nisan. Konon sajak ini dibuat seusai kematian sang Nenek yang sangat ia cintai. Sajak ini buat saya adalah tonggak keparipurnaan dalam penggambaraan rasa kehilangan.
“Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta”
Dalam sajak itu diksi yang disusun membangun imaji tentang bagaimana sebuah kematian mesti dihadapi. Namun dalam saat yang bersamaan sajak tersebut menggambarkan mengenai kehilangan yang teramat sangat. Sampai hari ini saya kira belum ada sajak yang mampu menandingi Nisan perihal penggambaran kematian sebagai sebuah proses keikhlasan.
Proses kepenyairan Chairil adalah proses kepenyairan yang otobiografis. Sajak-sajaknya lahir seperti sebuah narasi yang mengalir. Ia pernah jatuh cinta dengan malu-malu, pernah kehilangan, dikhianati dan juga terbakar nuansa perjuangan kemerdekaan.
Sajak-sajak seusai melewati individualitas dan kematian keluarga mengantarkan era baru dalam tema perjuangan dan kehidupan.
Coba saja liat sajak-sajak seperti sajak Karawang Bekasi yang ditulis pada 1943. Sementara Persetujuan Dengan Bung Karno, Diponegoro, dan Prajurit Jaga Malam ditulis pada 1948. Meski Karawang Bekasi dianggap menjiplak The Dead Young Soldiers karya Archibald MacLeish.
Sajak-sajak tersebut bahkan oleh Lekra, organisasi kesenian PKI, dinilai bukan merupakan sebuah sajak individualis. Namun sajak yang bernuansa perjuangan dan anti imprealisme.
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Sajak Persetujuan Dengan Bung Karno dianggap Lekra sebagai sebuah pernyataan anti fasisme. Begitu gandrungnya Lekra sehingga menginspirasi salah satu penulisnya, Pramoedya Ananta Toer, untuk menuliskan sebuah fragmen yang ditujukan bagi Chairil. Dalam novel Larasati, ia dikisahkan pernah beradu mulut dengan Idrus perihal honor tulisan sajak.
Menjadi penyair adalah upaya mencintai kemerdekaan dan kebebasan. Hal ini tak ia hanya ia tunjukan dalam sajak-sajak yang bernuansa nasionalisme. Namun juga dalam gaya hidupnya yang urakan dan bohemian. Bahkan kepada siapapun ia tak ingin menjadi orang lain, meski orang itu adalah Presiden Republik Indonesia. Coba tengok sedikit kisah yang tertuang dalam memoar Basuki Resobowo. Chairil dan Affandi dulu pernah diminta Soekarno untuk bikin poster kemerdekaan.
Di tengah desakan yang bertubi-tubi akhirnya si tengil Chairil berucap “bung ayo bung” yang terdengar sangat elegan. Padahal kata bung merupakan sebutan jantan bagi para lelaki yang diucapkan oleh pelacur. Tak percaya? Sila anda nonton film “Lewat Djam Malam”. Maka anda akan terpukau kata-kata Laila yang berujar “Bung terlihat lelah”. Tentu bung bukanlah kata asing bagi Chairil yang doyan jajan ini. Kelak ia pun dikenal sering berhutang pada kawan untuk membeli obat buat penyakit sipilis yang dideritanya.
Sebagai seorang penyair ego rupanya merupakan bagian dari jati diri Chairil. Bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, ia menyusun Surat Kepercayaan Gelanggang. Sebuah manifesto kesenian yang berusaha lebas dari nilai- nilai politis dan pemaksaan kolonial. Dengan pongah mereka menuliskan “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Lebih dari itu pada suatu wawancara dengan radio Belanda si kecil kumal Chairil mengumpat “Yang bukan Penyair, tidak ambil bagian!”
Meski dikenang sebagai seorang yang urakan, ketus, keras kepala dan apa adanya. Chairil rupanya seorang pecinta yang melankolis. Ia pernah jatuh cinta pada seorang gadis bernama Sri Ayati, seorang penyiar radio di Jakarta saat masa pendudukan Jepang. Sri adalah salah satu dari beberapa gadis yang pernah menjadi objek afeksi personal Chairil dalam sajak. Senja di Pelabuhan Kecil adalah buktinya;
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Entah mengapa bagi saya sajak ini seolah penggambaran rasa menyerah dan kekalahan. Chairil seperti telah kelelahan dalam upaya menggenapkan perasaan. Jatuh cinta barangkali adalah sebuah kemewahan bagi seorang penyair yang miskin. Dalam bayangan saya, Chairil menulis sajak ini di Sunda Kelapa. Seusai bertemu dengan Sri Ayati dengan perasaan yang remuk. Sajak ini ditutup dengan sebuah kalimat yang letih. “Dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.”
Seiring bertambahnya usia, semakin gelap dan putus asa sajak yang diciptakan Chairil. Seperti sajak Derai-Derai Cemara, Aku Berada Kembali dan Yang Terhempas dan Yang Terputus. Si Binatang Jalang yang pernah ingin hidup 1000 tahun lagi ini telah habis daya hidupnya. Ia telah merutuki keterasingan dalam kata-kata yang ia torehkan sebagai puisi. Saya kira justru ini yang membuat Chairil menjadi penyair yang besar. Ia bisa hidup dalam berbagai warna kehidupan, tapi bukan hidup dalam satu warna monokrom.
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Derai-Derai Cemara adalah puisi terakhir yang diciptakan oleh Chairil. Boleh jadi hanya puisi inilah, bagi saya, yang mampu merajut imaji tentang kekalahan. Ia bercerita tentang hidup yang sia-sia. Barangkali ia ingin berkata bahwa pada akhirnya semua manusia akan kalah pada kesunyian bernama waktu. Ia yang pernah berkata bahwa “Nasib adalah kesunyian masing-masing,” telah mengalami “Mampus Kau Dikoyak-koyak Sepi,”. Lantas dikuburkan sebagai mayat dan berakhir sebagai sebuah nisan.