Barangkali tidak ada yang lebih cemburu daripada dewa-dewa Olimpus. Hera kepada Zeus, Atena kepada Medusa, atau Circe pada Glaucus. Cemburu adalah bentuk paling sumbing perasaan rendah diri manusia. Ia menggambarkan rasa tidak percaya diri, rendahnya kontrol emosi diri, dan rasa takut akan kehilangan yang berlebihan. Tapi apakah kita salah memelihara cemburu?
Christine R. Harris, seorang evolutionary psychologists, menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam upaya saintifik menjelaskan apa itu cemburu. Ia sedang berusaha membantah anggapan bahwa perempuan lebih mudah daripada laki-laki. Anggapan ini lahir karena para psikolog evolusioner berpendapat bahwa ada perbedaan respon terhadap kecemburuan antara laki-laki dan perempuan.
Semua dimulai pada 1995, saat David Michael Buss dari University of Texas menyebutkan bahwa ada satu set sirkuit otak yang spesifik menentukan reaksi cemburu. Ia melakukan riset yang melibatkan 1.000 orang partisipan dan berkesimpulan bahwa laki-laki cemburu pada perselingkuhan fisik sementara perempuan lebih cemburu pada perselingkuhan emosional.
Tapi benarkah demikian? Jika anda bertanya pada Hera, yang menjadi istri Zeus, jelas ia akan menjawab tidak. Berkali-kali perselingkuhan fisik yang dilakukan Zeus hanya membuat dunia jadi remuk. Berbagai anak haram dari persetubuhan, juga perkosaan, yang dilakukan Zeus berakhir tragedi. Entah karena mereka dikucilkan atau dikutuk Hera.
Beberapa cinta tak ditakdirkan untuk solid dan stabil; cinta dengan mudah mengalir lantas hilang. Seperti air yang menguap ke udara, sebenarnya cinta tengah berganti bentuk. Kita merasa bahwa cinta hanya ditakdirkan untuk merupa dalam satu bentuk abadi. Padahal ia tak pernah tetap, seperti air, ia bisa ambles merasap dalam tanah atau mengeras menjadi es.
Manusia butuh kepastian untuk bisa tetap hidup. Seperti patung, ritual, atau upacara yang diperingati secara presisi dalam satu waktu. Kita memandang cinta sebagai kewajiban yang mutlak. Bahwa kamu untuk aku dan aku untuk kamu, perasaan-perasaan yang ada di sekitarnya kerap dihilangkan untuk membuat kita waras dan tentu saja menghindari cemburu.
Kecemburuan sebagai sebuah peristiwa ganjil, sebenarnya kita sedang gandrung pada kepemilikan. Cemburu adalah upaya manusia untuk menandai batas teritorial, bahwa satu hal (atau satu orang) terbatas dan hanya boleh diakses secara ekslusif oleh satu pihak belaka. Emosi ini dibuat menjadi benar, menjadi wajar, dan pada akhirnya dirayakan sebagai bentuk cinta. Tapi apakah cinta memaksakan seseorang untuk membatasi ruang geraknya?
Kita memaklumi cemburu, menganggapnya sebagai reaksi yang wajar. Ia menjadi bengis dan salah ketika cemburu memaksakan satu pihak untuk tunduk pada keinginan pihak yang lainnya. Kita memaksa orang yang kita sayang untuk menuruti yang kita inginkan, membatasi ruang geraknya. Karena kita takut jika ia terlalu bebas, ia akan pergi lantas hilang.
Beberapa dari kita membatasi orang yang kita cintai untuk bertemu dengan orang lain, kita membatasi orang yang kita sayang untuk melakukan apapun yang ia suka, sesederhana karena kita takut ia jatuh cinta pada yang lain. Rasa takut ini lahir dari kekerdilan diri, ketidakmampuan bersaing, atau mengembangkan diri.
Kita memang bisa menyebutnya sebagai tindakan irasonal seseorang yang mabuk kepayang. Tapi tiap bentuk monopoli adalah otoritarianisme yang memakan korban. Kita mengurung orang yang kita sayang dalam sangkar bernama cemburu, membatasi ruang geraknya, membatasi kesempatannya untuk berkembang dan menjadi paripurna.
Dalam islam, cemburu adalah bentuk keagungan sifat tuhan dan manusia dilarang memilikinya. Allah adalah al-Ghayyur, artinya Maha Pencemburu. Cemburu menjadi sesuatu yang sublim, suci, dan transenden. Cemburu berarti sebagai mahluk, kita pernah dan sedang memiliki sesuatu. Sementara segala yang ada di kolong langit adalah milik-Nya, kita yang fana tak punya hak. Sehingga untuk manusia memiliki rasa cemburu adalah bentuk pembangkangan terhadap keyakinan terhadap tuhan.
Mengakui kecemburuan perlu keberanian. Artinya kita mengakui bahwa diri ini dhaif, takut, lemah, dan butuh bantuan. Maka untuk memperbaiki itu semua, kita perlu mengubah diri. Cemburu lahir dari rasa takut, insekur, dan kelemahan. Maka hadapi rasa takut itu sendiri.
Seperti juga harapan yang menguat, demikian juga keinginan untuk bersama. Kadang kita hanya terlalu malu untuk mengakui atau terlalu takut untuk menunjukkan perasaan. Cinta yang cemburu, cinta yang keras kepala. Di saat-saat seperti itu kadang kita hanya perlu seperti Descendants, dalam lagunya Hope.
Call me selfish, call me what you like, i think it’s right
To want someone for all your own
And not to share her love.