Celaka di Enam Lima

dhani
4 min readSep 7, 2022
William Morris’s Honeysuckle (1876) famous pattern wallpaper. Original from The MET Museum. Digitally enhanced by rawpixel.

(Ini adalah fragmen dari novel terakhir dari Trilogi Eminus Doleo)

Lisa pulang ke Jakarta semalam. Karena terburu-buru, ia meninggalkan kemeja di kamar dan memintaku menjaga, setidaknya sampai ada waktu untuk liburan lagi. Perjalanan pulang dari Kopi Klothok adalah rahasia yang tak ingin Ia bagi. Kukira tiap manusia memang semacam itu, ada duka, kehilangan yang tak ingin orang lain tahu. Mereka hanya mampu menelan bulat segala derita itu sendirian dan melanjutkan hidup seolah tak ada apa-apa.

Aku hanya ingin tidur pagi ini. Setidaknya begitu rencanaku selama dua tahun terakhir pindah ke Sleman. Tidur siang, banyak makan, tertawa, dan gembira. Tapi tentu saja, penyakit diabetesku tak akan berhenti membuat gula darahku meningkat hanya karena ini hari minggu. Setiap pagi, selama satu jam, aku berjalan kaki mengelilingi jalan di sekitar Palagan. Lima kilo, sepuluh ribu langkah lebih sedikit.

Jalan kaki adalah olahraga paling murah dan mudah. Kamu hanya perlu sepasang kaki, itupun jika tidak sedang kena kudis atau kurap yang menghinggapi jari kaki. Jika kamu punya sepatu, bagus. Jika tidak, bukan soal. Aku memilih jalan kaki karena ia gampang dilakukan untuk orang dengan berat badan sepertiku.

Setiap pagi, pukul 4.45 aku bangun, selesai sholat dan mencuci muka, aku langsung memakai sepatu dan jalan keliling komplek rumah kontrakan. Di Sleman ada banyak tempat untuk jalan kaki. Mulai dari Lembah UGM, jalanan sekitar Stadion Maguwo, lapangan di depan Sleman City Hall, hingga Embung Tambakboyo. Lokasi terakhir adalah tempat favoritku, selain indah dan luas, tempat itu membuatku selalu bersemangat.

Pertama kali aku datang Tambakboyo tampak indah. Gunung, air danau, suasana burung berkicau, dan deru air dari parit kecil seperti persembunyian kecil di tengah pembangunan Jogja yang kian rapat. Jika kamu cukup teliti, tebing-tebing yang mengelilingi embung rimbun dengan pohon. Ia menjulang tinggi dan kadang memberikan cukup bayangan untuk melawan sinar matahari siang.

Pohon-pohon itu terawat, sepertinya ada orang yang sengaja ditugaskan menjaga mereka. Di atas tebing sisi sebelah timur ada semacam tangga yang di atasnya lebih banyak tanaman. Cukup hijau, teduh dan sejuk jika dilihat dari jauh. Tapi setelah beberapa kali datang, berkeliling, dan melihat dengan seksama aku menyadari bahwa tempat ini nggak baik-baik amat.

Jalan kaki adalah caraku untuk menghadapi depresi dan diabetes. Bagi banyak orang jalan kaki mungkin olahraga yang sepele. Tapi jalan kaki menyelamatkanku dari kematian dan bunuh diri. Jalan kaki membuatku berpikir dan memikirkan ulang hubunganku dengan perempuan itu. Trauma dikecewakan, jadi pelaku silent treatment, dan hubungan eksploitatif membuatku selalu berpikir berkali-kali untuk mencari pasangan.

Aku mengerti mengapa penulis seperti Murakami dan Malcolm Gladwell suka sekali lari. Aktivitas fisik, lari atau jalan kaki, membuatmu tenang. Rasa lelah setelah olahraga akan membuatmu merasa gembira. Hal ini akan membantumu tidur lebih nyenyak, berpikir lebih tajam, dan meningkatkan stamina diri. Jalan kaki membuatku sadar lingkungan sekitar yang luput aku sadari keberadaannya.

Jalan kaki adalah olahraga pelan. Ia tak membuatmu gegas seperti lari atau penuh tantangan seperti mendaki. Jalan kaki hanya butuh satu kaki melangkah setelah yang satunya selesai. Demikian terus menerus, dari langkah pertama hingga langkah kesepuluh ribu. Jika cukup mujur kamu akan bisa melihat matahari terbit, jika tidak kamu akan mendapatkan gorengan panas yang baru selesai ditiriskan di penjual burjo.

Hidup tak perlu congkak, secukupnya saja, dan jalan kaki adalah hidup yang serba cukup. Tidak cepat lelah, bisa menempuh jarak yang jauh, bisa membuatmu menghirup udara segar, dan bisa membuatmu merasa gembira karena telah berolahraga. Tubuhmu akan berkeringat, otakmu rileks, dan jantungmu bekerja dengan lebih baik. Jika ada yang susah dalam usaha jalan kaki setiap hari mungkin perkara disiplin belaka.

Kerja keras akan membuatmu sukses, tapi disiplin akan membawamu ke tempat yang lebih tinggi. Hidup dengan makna. Aku pernah membaca omong kosong seperti itu di halaman buku tulis Sinar Dunia, tapi setelah nyaris mati karena Covid, divonis penyakit gula, pelan-pelan aku meyakini ada nasihat genting di buku tulis duaribuan itu. Atau kupikir begitu.

Setiap pulang dari olahraga aku selalu menyempatkan mampir ke tukang sayur dekat rumah. Membeli bahan sop, tempe satu papan, lima potong tahu, tomat hijau, cabe merah, dan jika ada jamur. Aku belajar banyak dari diabetes ini, mulai dari memperhatikan jumlah kalori sampai memahami cara mengolah nasi agar tak memiliki gula berlebihan saat dimakan.

Aku belajar memasak dari Mak Supik, perempuan yang merawatku sejak kecil. Ia pernah bilang padaku seumur hidupnya Mak Supik seperti diinjak nasib buruk. Ia buta huruf, terlahir miskin, dan suaminya pengangguran yang tak berguna. Tapi perempuan tua itu selalu bilang bahwa satu-satunya kebahagiaan yang ia miliki hanya aku. Anak bungsu yang punya gelar sarjana dan bisa bekerja di Jakarta.

--

--

dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?