Setiap 1 Mei, di Peringatan Hari Buruh, media gemar sekali bicara dan menghadirkan imaji ini. Buruh yang protes soal upah, naik ninja. Seolah-olah dengan punya ninja, mereka tidak berhak untuk minta upah layak. Prasangka ini lahir dari bertahun-tahun stigma media kepada kelas pekerja. Mereka adalah kaum yang tidak pernah bersyukur, udah punya pekerjaan, dibayar, tapi masih ngelunjak.
Selama berpuluh tahun kita dibuat percaya bahwa kelompok buruh dan kelas pekerja di Indonesia itu udah mapan. Pekerjaan mereka memberikan upah layak, perlindungan sosial dan kesehatan, THR, cuti dan sebagainya. Sehingga saat mereka menuntut hak, dianggap tidak bersyukur dan ngga tahu diri.
Pada kenyataannya, kelompok buruh adalah yang paling rentan, kerap kali diPHK sepihak, kecelakaan kerja tanpa asuransi, rentan mengalami pelecehan, kekerasan, intimidasi, hingga pembunuhan. Hingga hari ini kasus pembunuhan Marsinah masih belum jelas terungkap, eksploitasi buruh pabrik AICE juga masih terjadi.
Tapi benarkah buruh adalah kelompok yang ngga bisa rasional dan hanya mampu menuntut? Idealnya keberadaan serikat buruh dalam industri bertugas sebagai penjembatan antara pengusaha dan pekerjanya. Serikat buruh juga berfungsi menjadi lembaga yang mengembangkan kapasitas pekerja. Dalam konflik, serikat buruh menjadi daya tawar untuk memastikan buruh mendapatkan hak yang layak dan pengusaha mematuhi peraturan yang ada.
Serikat buruh bisa menjadi perwakilan untuk melakukan negosiasi dan mebuka pembicaraan dengan penguaha. Syaratnya, pengusaha memperlakukan serikat buruh setara, mau terbuka, transparan, dan fair. Misalnya jika buruh menuntut kenaikan upah, perusahaan semestinya terbuka soal bagaimana kondisi keuangan perusahaan? Berapa keuntungan yang ada, jangan sampai perusahaan untung besar, tapi menolak mensejahterakan buruh, lebih buruk lagi melakukan ekspoitasi.
Di banyak kasus, perusahaan mengaku tak punya uang, sehingga mereka mengabaikan hak pekerja seperti penyediaan alat keselamatan kerja, lingkungan kerja yang bersih dan sehat, keamanan lingkungan kerja dari potensi kecelakaan, sampai jaminan hak cuti haid/melahirkan tanpa takut dipecat karena hamil.
Jika kita menganggap buruh tidak bersyukur, beruntung dan tak punya malu saat naik Ninja untuk demo kenaikan upah. Disebut apakah pengusaha/pemilik pabrik/pemili Industri/ yang bisa membeli jaguar, ferari, membangun pabrik baru tapi mengaku tak punya uang untuk membayar layak para pekerjanya?
Corona membuat kondisi kelompok buruh dan kelas pekerja jadi makin brengsek. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan mencapai 2,8 juta. Lonjakan PHK dan pekerja dirumahkan sebagai dampak ekonomi di tengah pandemi virus corona.
Banyak pengusaha gulung tikar saat Corona, mereka menderita kerugian penurunan penjualan karena karantina, produksi yang terhambat, meningkatnya harga bahan baku, dan terhalangnya ekspor karena pembatasan akses. Kita semua paham dan tahu. Karena paham, kita bersimpati dan merasa bahwa mereka perlu dibantu.
Buruh saya kira juga demikian. Karena kehilangan pekerjaan, mereka harus memutar otak untuk bisa bertahan hidup. Mulai banting stir jadi pekerja serabutan, berjualan, sampai terpaksa pulang ke kampung, beresiko menjadi carier corona, karena tak ada pekerjaan di kota.
Pengusaha mengalami kerugian jelas bermasalah, tapi merasa diri paling korban juga ngga bantu apa-apa. Jika kalian merasa kondisi berat, melibatkan pekerja/karyawan/buruh kalian dalam penentuan kebijakan bisa sangat membantu. Kuncinya jelas transparan dan jujur. Terbuka soal keuangan, jangan cuma berbasis klaim.
“Kami paling menderita, kami paling sengasara, udah diancam penjara kalau ngga bayar THR, tapi terus merugi. Padahal kami mikirin karyawan dan bantu-bantu juga”
Derajat kesengasaraan bukan untuk kompetisi. Buruh harian yang dibayar di bawah UMR kemudian di PHK tanpa pesangon jelas ngga bisa dibandingkan dengan pengusaha yang gulung tikar tapi punya aset ferari dan rumah mewah. Di hadapan pandemi kita semua sama-sama rentan, maka untuk bisa bangkit kerja sama dan solidaritas penting.
Kelompok buruh dan kelas pekerja masih punya nurani. Di awal masa penemuan kasus Corona serikat pekerja membagikan hand sanitiser, serikat pekerja BNI membagikan Alat Pelindung Diri, dan serikat pekerja Jamsostek memberikan bantuan sembako. Solidaritas dan bantuan ngga eksklusif milik pengusaha juga.
Maksudnya, jika serikat buruh dan pengusaha punya tradisi keterbukaan soal keuangan perusahaan, tuntutan saya kira akan berkurang. Uda tahu kok duit ngga ada, ya ngga akan maksa menuntut lebih. Di masa pandemi juga sama, jika buruh tahu dan paham kondisi perusahaan mereka juga mengerti, bersedia THR dibayar telat, dan sebagainya.
Masalahnya selama ini banyak perusahaan gemar menyembunyikan untung, tapi kalau pailit dan merugi, paling keras teriak ngga punya uang. Eksploitasi pekerja jor-joran, saat minta hak lingkungan kerja aman, jaminan sosial yang diwajibkan pemerintah, merasa paling melas dan melarat.
Di Amerika dan Eropa muncul gerakan untuk memberikan gelar pahlawan bagi mereka para buruh yang masih bekerja saat corona. Gelar ini dikritik dan cuma dianggap sekedar lips service. Kalau memang mau memuliakan. Ya naikkan upah mereka, bayar lebih mahal daripada direktur dan CEO yang bekerja dari rumah. Mereka yang berada di garis depan semestinya dipastikan kebutuhannya terpenuhi dan asuransi kesehatan serta sosialnya dijamin.
Mengapa sentimen ini muncul? Karena salah satu perusahaan paling besar di Amerika, Whole food Market yang dimiliki Jeff Bezoes, meminta pekerjanya untuk tidak libur, menggantikan mereka yang sakit, tanpa upah layak, pada 2019 Whole Foods mencatat laba 500 juta dolar, cukup untuk membayar karyawannya lebih 15 dolar perjam.
Jika pengusaha merasa bahwa buruh/kelas pekerja tidak mau tahu apa yang ada di bawah gunung es saat Corona. Mungkinkah para pengusaha, juga masyarakat, mau tahu apa yang ada di bawah gunung es saat buruh melakukan protes saat Mayday?