“Untuk bisa terlahir kembali,” kata Gibreel Farishta seusai jatuh dari langit, “Engkau harus mati terlebih dahulu.”
Kematian hanya satu akhir dari berbagai pilihan yang bisa kita ambil selama hidup. Kamu bisa melawan untuk kalah, kamu bisa diam dan tetap kalah. Setiap pilihan punya konsekuensi yang harus kamu hadapi, tapi lebih dari itu kukira yang menjadikan hidup layak dijalani karena ia berharga.
Empat tahun yang lalu jika kamu bertanya padaku apa cita-citaku, mungkin kamu akan menemukan punya banyak sepatu, kaya raya, dan hidup seperti rockstar adalah beberapa jawaban ganjil yang akan kuberikan. Belakangan aku hanya ingin tidur nyenyak, makan sambal, dan bisa berak dengan teratur.
Hidup manusia memang demikian adanya, kerap kali ia bercabang seperti ranting pohon jambu, berkelit dan kadang kamu tak tahu kemana ia akan menikung. Setahun lalu aku berpikir mana kematian yang lebih tidak menyakitkan, loncat dari mall sembolan lantai atau tenggelam di tengah selat sunda? Perlahan, pikiran itu berganti dengan ingin makan apa hari ini.
Setiap hari kita bertemu dengan banyak hal. Beberapa hal membuatmu merasa hidup layak dijalani, sisanya membuatmu ingin menginjak muka pejabat batil yang mencari rente di tentah wabah. Hidup akan selalu membuatmu merasa gembira setelah sedih, marah setelah tertawa, dan seterusnya.
Kelak kamu akan sadar, bahwa kamu perlu menghargai apa yang dimiliki saat ini. Gelak tawa bersama kerabat, umpatan sahabat, atau duduk bersama kekasih sambil sambat. Beberapa dari kita hidup berkalang kebencian, terjebak hutang, dan merasa tak ada yang layak diperjuangkan.
Hidup dengan membawa beban kadang membuatmu merasa keadilan itu cuma akal-akalan orang kaya. Kita yang saban hari harus bertikai dengan kerja, tuntutan, dan hidup yang debil, seringkali merasa didesak keadaan. Tersudut di membelakangi tembok, tak bisa melakukan apapun. Ingin memperbaiki taraf hidup, tapi pilihannya antara membuat pesugihan atau jadi bandit.
Masa depan adalah hal yang jauh, dunia hanya berputar hari ini, dan kemarin sudah terlambat untuk diselamatkan. Dunia yang gelap, pekerjaan yang mencekik, dan harapan yang terlalu amis. Hidup sehari-hari serupa ketam yang lari sembunyi dikejar ombak dalam liang, berjalan menyamping, dan berbusa saat celaka.