Pada awalnya adalah ingatan.
Kamu selalu tahu bahwa aku membenci matahari terik di musim hujan. Ia adalah anomali, mengapa terik jika sedang musim hujan? Belakangan aku ingat, kamu tak suka hujan, kamu lebih tahan panas. Kurasa itu jadi tak penting sekarang, karena waktu yang menembus bilik-bilik ingatan membuatku lupa apa saja yang sudah kita lalui bersama, belakangan banyak hal yang aku lupakan.
Ingatan manusia demikian ajaib. Saat aku hendak mengingatmu, otakku malah susah membayangkan wajahmu, rambutmu, kacamatamu, juga kebiasaanmu. Sekarang aku sering lupa, mungkin karena sangat ingin lupa, peri-peri yang menjaga sungai kenangan mengabulkan inginku. Tetapi di hari terik ini entah kenapa ingatan tentangmu datang lagi.
Kenapa selalu tentang ingatan?
Aku mau berkisah tentang ingatan, yang kusimpan rapi dalam kertas dan kumasukan dalam botol kecap tebal. Kisah tentang ingatan segar tentang tiga tahun kebersamaan kita. Dalam kisah itu sebagian besar tentang kamu, tentang kita dan sedikit tentang hal-hal yang kita sukai. Ingatan itu masih kusimpan rapi dalam botol, bukan karena aku sentimentil. Tapi aku tak tahu cara menghancurkannya. Aku mau ingatan itu hilang tapi setiap kubuang, selalu kembali dengan cara yang sama. Dengan pita merah dan sepucuk surat tertulis “mohon jangan kau buang”.
Aku terdiam tolol dan kembali menyimpan ingatan itu.
Ingatan itu menyakitkan, karena ia bercerita tentang kamu. Tentang senyum yang lepas, tentang rindu yang tebal, dan tentang rambut kuncir yang bergoyang saat kamu jalan dengan kikuk. Mungkin itu bibit rindu dan perhatian yang membuatku jatuh cinta. Belakangan hal ini jadi lebih menyakitkan daripada bikin gembira. Aku berharap ia hilang atau dikubur, semenjak kau dan aku saling menyakiti. Saat aku tak bisa bicara soal perasaanku dan kau merasa dikhianati karena tak diperhatikan.
Aku menolak menangis, tapi air dalam kantung mataku deras turun. Kamu tidak tahu, karena aku tak mau kamu tahu. Mungkin sebulan setelah kita berpisah aku baru bisa menangis. Suatu malam aku bangun dengan detak jantung yang demikian kencang, ingin menghubungimu, tapi aku ingat kita sudah berpisah dan itu menyakitkan.
Kapan rasa sakit itu dimulai?
Di akhir April yang panas, yang gerah. (Kenapa selalu gerah dan panas?) Kenangan remeh temeh tentang betapa kamu yang memakai sepatu butut dan baju usang kedodoran itu begitu purna di kepalaku. Ingatkah kau? Bukankah kita berjumpa dalam sebuah ruangan kantor yang terlalu dingin dengan bau minyak kayu putih dan sepatu busuk. Bertahun kemudian kita bertemu lagi untuk yang kedua, (saat itu aku yakin ini jodoh) awal perkenalan kita biasa saja.
Aku pelan-pelan melupakan semuanya.
Aku ragu, kapan kita kemudian benar-benar jatuh cinta. Mungkin setelah nonton? Belakangan aku sadar aku membutuhkanmu, tapi apakah kamu butuh aku? Aku butuh perempuan tangkas yang tak bisa diam, yang tak peduli kulit hitam karena berjalan panas. Perempuan yang berebut membaca buku Eka Kurniawan, setelah semalaman berdebat mana yang lebih baik dari EDM dan emo, perempuan yang memaksaku olahraga dan menabung untuk masa depan. Perempuan yang teguh menyebut bahwa lagu populer radio adalah yang terbaik dibanding segala musik obscure yang kumiliki.
Perempuan yang bisa mendaki gunung dengan cuaca dingin tapi demikian mencintai bibir pantai di musim panas. Perempuan yang mau repot memasak, belajar membikin sambal dan memaksaku untuk memakannya. Perempuan yang bisa hidup mandiri, melawan bos tengik yang tak kompeten, atau rekan kerja yang malas-malasan.
Aku mulai lupa segala tentang kita.
Keberanian untuk mengucap rindu itu lahir dari ketakutan untuk hidup sendiri. Mungkin karena aku terlalu egois dan enggan bertanya, apakah kamu juga merasa demikian? Aku berharap kita bisa bersama lagi. Tidakuntuk dimiliki, kamu bukan benda, kamu lebih dari itu, kamu rekan yang baik, seseorang yang bisa membuat pasangannya jadi sosok yang lebih baik.
Aku selalu kagum atas sikapmu yang tak ambil pusing, abai pada pendapat orang tentang diri sendiri dan lebih peduli pada rasa nyaman ketimbang penampilan. Itulah kamu, tidak perlu rapal mantra aji jaran goyang atau puji laku pengasihan. Hatiku ini rontok untukmu. Aku tak akan menyesali keputusan ini. Keputusan untuk jatuh cinta, meski akhirnya sangat perih.
Hujan adalah kenangan yang pecah
Seperti hujan, ingatanku tentangmu itu mendung, basah, dingin dan pecah. Tetapi sampai detik ini aku masih sayang. Bukankah sayang itu pamrih? Ia memintaku tetap ingat sebagai imbalan atas kepedulianku padamu. Aku menyayangimu dengan cara yang bodoh
Aku seperti Caligula, manusia yang gila karena kehilangan cinta. Tapi itu tak memberikan pembenaran atas sikapku yang bodoh, ucapanku yang keji dan tingkahku yang menjijikan. Aku hanya tak tahu cara menyampaikan perasaanku. Setiap malam, sebelum tidur, aku bertanya: “Sedang apa kau? Sudahkah kau bahagia? Apakah kau mendapat jawab atas doa-doamu?”
Aku perlu meyakinkan diriku untuk menahan diri. Aku perlu jadi lebih baik sebelum bertemu denganmu lagi. Tapi ia perih, rasanya seperti dicabik perlahan-lahan. Aku menahan sakit yang tak kunjung padam, hidupku linglung, hatiku luka, mataku sayu, semangatku padam dan segala rupa kegemaran yang pernah kusuaki hilang. Aku tahu ini salahku sendiri dan aku pun paham luka ini mesti aku sendiri yang mengakhiri. Luka ini akan berhenti perih jika aku berhenti mengingatmu.
Aku tahu, ini menyakitkan, tapi obat yang baik selalu pahit. Ingatan tentangmu datang serupa banjir bandang, yang wussshhh wussshhh datang tanpa mampu dihentikan tapi kemudian Dor! Hilang begitu saja. Tapi sebelum peri-peri yang baik membuang semua ingatanmu ke dalam botol kecap, aku tetap mau berkisah. Kisah tentang ingatan kamu. Mungkin kamu tak peduli, tapi aku selalu berharap.