Ketika supir bluebird protes tentang keberadaan ojek online, publik terbelah. Beberapa menyebut disrupsi ekonomi mutlak terjadi, yang tak beradaptasi akan disingkirkan. Mungkin kita lupa saat itu ada 23.000 unit kendaraan bluebird. Jika masing masing kendaraan dikendalikan satu supir dan punya keluarga, maka ada banyak mulut yang dihidupi perusahaan ini. Tapi ini bukan jadi pembenaran demonstrasi rusuh dan tindakan agresif yang dilakukan para demonstran yang diduga supir bluebird.
Demonstrasi supir taksi yang pernah terjadi, bukan soal bluebird, tapi juga express, dan beragam taksi lainnya. Bluebird punya 61 pool yang terletak di Jakarta, Banten, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Lombok, Medan, Padang, Batam, Pekanbaru, Palembang dan Manado. Jika anda mau marah, marah saja pada perusuh yang melakukan tindakan agresif. Jangan salahkan seluruh supir bluebird. Generalisasi itu keji.
Buruh adalah orang orang yang kerap menjadi korban demonstrasi. Karena satu aksi demo rusuh, atau beberapa buruh membawa ninja, seluruh buruh disebut tak tahu diri dan pelaku kerusuhan. Hari ini sama saja. Supir taksi yang demonstrasi hari ini, bisa jadi mewakili aspirasi seluruh supir yang ada, tapi perilaku rusuh hari ini tidak merepresentasikan kepribadian seluruh supir taksi yang jumlahnya puluhan ribu itu.
Jadi adil itu susah. Memboikot itu bukan perkara gampang. Ia sikap idiologis, sesuatu yang saya ragu dimiliki oleh orang orang yang gemar diskon, potongan harga, dan promo murahan. Lagi pula bagi saya, memboikot satu hal karena generalisasi itu keji, jika tak boleh disebut tolol. Mereka yang rusuh hari ini melakukan tindakan kekerasan yang tak menyenangkan, tapi lebih banyak yang tidak melakukan itu. Jika karena sebagian semua mesti menanggung beban, itu banal.
Ada banyak cara untuk menuntut kemakmuran. Menekan pemerintah untuk membuat regulasi adalah satu hala. Pemerintah wajib dan harus membuat regulasi. Tapi regulasi yang bagaimana? Yang berpihak kepada pemilik modal? Berpihak kepada pekerja? Atau berpihak kepada kepentingan publik? Ini hal prinsipil yang akan menjawab keberpihakan kita.
Kalau mau menuntut regulasi, regulasi diajukan oleh pemerintah. Dalam hal ini siapa yang punya otoritas? Kementrian Perhubungan atau Kominfo? Atau kedua lembaga itu yang mestinya bertanggung jawab menyusun regulasi. Tapi sebelum itu, sudahkah kalian para konsumen tahu hak kalian ketika menggunakan transportasi supir konvensional dan aplikasi online?
Dari kedua pilihan moda transportasi itu siapakah yang menjamin keselamatannya? Apakah kalian dilindungi oleh asuransi? Siapa yang menjamin kualitas pelayanan? Jika ada keluhan siapa yang paling bertanggung jawab membenahi? Atau semua itu tidak penting, yang penting murah, cepat sampai, ACnya dingin, dan lumayan gaya sampai di tujuan?
Cara lain untuk menuntut kesejahteraan adalah meminta perusahaan membuat iklim kerja yang baik. Salah satunya adalah menjamin dan memberikan ruang pada serikat pekerja sebagai wadah aspirasi karyawan terhadap perusahaan. Pertanyaan sederhana, mengapa supir ini tidak menuntut perusahaannya sendiri? Mulai membentuk serikat supir? Dan melakukan penawaran atas perusahaan?
Serikat buruh setidaknya akan membuat para supir punya nilai tawar. Mereka tidak akan lagi ditekan tanpa alasan, mereka bisa melakukan negosiasi terkait nominal setoran, jaminan asuransi kesehatan, dan angka kenaikan gaji. Serikat buruh yang baik akan mengedukasi anggotanya tentang hak, kewajiban, sekaligus peningkatan kualitas pelayanan kerja. Tapi kenapa supir tak mau atau tak bisa membuat serikat buruh?
Hingga 31 Desember 2014, total aset Blue Bird mencapai Rp7,17 triliun, melonjak tajam dari tahun sebelumnya Rp5,01 triliun. Dengan aset sebesar ini adalah hal mudah bagi bluebird untuk membekali para supirnya satu ponsel pintar sederhana, mengembangkan teknologi informasi berbasis aplikasi pesanan, dan mempersiapkan diri untuk bersaing dengan perusahaan semacam uber dan grab. Tapi mengapa ini tidak dilakukan?
Ada banyak hal. Tentu ini bukan perkara mudah. Baik uber dan grab murah karena mereka memiliki investor yang membuat harga transaksi transportasi konvensional mendapatkan subsidi. Sebagai seorang pragmatis pelit dan murahan, konsumen tentu ingin mencari yang paling murah.
Ini bukan soal layanan. Supir taksi yang tidak tahu jalan, yang kasar, yang tidak mau melayani trayek dekat dan kekecewaan lain memang ada. Tapi supir uber atau grab yang serupa juga ada. Jadi alasan pelayanan itu omong kosong bagi saya, Ini murni soal murah dan gaya. Sama seperti ojek dan gojek.
Buat saya yang paling penting adalah dua hal terkait demonstrasi hari ini. Pertama pembenahan kualitas transportasi publik. Pemerintah semestinya bertanggung jawab memberikan transportasi yang aman, murah, nyaman dan dapat diakses oleh publik. Kita sudah membayar pajak dan mereka semestinya dituntut untuk mewujudkan itu.
Adanya transportasi publik non pemerintah seperti taksi konvensional dan aplikasi menunjukan bahwa kualitas pelayanan transportasi publik kita sangat buruk. Bagaimana tolok ukur sebuah transportasi publik itu layak adalah, ketika seorang perempuan atau anak anak bisa menggunakan transportasi publik tanpa takut dilecehkan atau menjadi korban kejahatan.
Hal penting kedua adalah, ribut soal taksi ini cuma masalah jakarta. Jakarta lagi dan jakarta lagi. Transportasi publik yang baik di seluruh Indonesia masih belum jadi perhatian. Sekali lagi kita dipertontonkan betapa Indonesia soal jakarta. Bayangkan pelosok kota lain? Jangankan transportasi publik yang baik, akses jalan yang bagus saja kadang soal impian.
Maka jika hari ini di bandara ada usaha untuk melakukan monopoli transportasi, ia harus dibaca secara kritis. Jika selama ini pemerintah banyak sekali memberikan kemudahan kepada taksi online, maka satu-satunya cara taksi konvensional bertahan mungkin dengan bersekutu dengan pihak lain, ini yang menjadi sumber monopoli.
Ini tentu tak bisa dibenarkan. Siapapun yang menang dengan strategi yang jahat, publik adalah pihak yang sudah pasti kalah.