Bengis

dhani
3 min readJun 1, 2020

Adolf Eichmann, seorang jagal Nazi yang diadili karena kejahatan kemanusiaan, mengutip Immanuel Kant tentang konsep categorical imperative. Bahwa apa yang ia lakukan, membantai ratusan ribu yahudi melalui proyek genosida itu, hanyalah sekedar melakukan tugas. Tidak ada rasa benci atau kemarahan. Ia berdalih, sebagai warga negara dan petugas negara, ia hanya melaksanakan perintah sesuai hukum.

Apa yang dilakukan Eichmann merupakan banalitas kekejian. Ia tidak lagi mengenal konsep empati, kemanusiaan, dan moralitas. Sebagai manusia, ia telah berubah menjadi mesin. Tunduk pada peraturan dan tak peduli apakah peraturan atau hukum itu dibuat sebagai satu sistem opresi raksasa untuk menghabisi satu kelompok masyarakat.

Yahudi, pada saat itu dianggap sebagai sumber masalah dan juga sumber kesengsaraan. Solusi final yang dipilih Nazi adalah satu cara untuk menghabisi masalah tersebut. Penghapusan total ras yahudi di dunia. Mereka mengalami penindasan berdasarkan prasangka, kecurigaan, dan kebencian yang dibangun oleh propaganda dan stereotipe.

Yahudi digambarkan sebagai sosok keji, mata duitan, culas, penipu, kejam, tak bisa dipercaya, dan musuh peradaban. Stereotip itu sampai hari ini masih ada. beberapa dari kita susah membedakan Yahudi sebagai ras, Judaisme sebagai ajaran, Israel sebagai negara, dan zionisme sebagai gerakan politik. Semuanya dibungkus jadi satu tanpa mau peduli bahwa peradaban mereka tidak monolit dan punya banyak ragam.

Propaganda dan stereotip kerap kali membunuh nalar. Sekali label dilekatkan ia akan memiliki konsekwensi mengerikan. Segala stereotip, kecurigaan, dan kebencian yang melekat pada label itu akan dilekatkan. Sekeras apapun anda mencoba untuk menjelaskan, mereka yang dibutakan kebencian tidak akan peduli. Tak pernah peduli dan tidak mau peduli.

Sebut saja label komunis di Indonesia. Maka stereotip seperti anti tuhan, pengkhianat negara, penjagal kyai, dan sebagainya akan ikut dilekatkan. Jauh setelah partai dan idiologi komunis di Indonesia bangkrut. Di pojok-pojok jalan muncul seruan awas komunisme gaya baru, awas kebangkitan komunis, sesederhana karena anda barangkali menuntut penuntasan kejahatan kemanusiaan tragedi 65.

Hari ini stereotip itu berkembang tak lagi berdasarkan idiologi komunis tapi juga label kelompok. Sekali anda dituduh syiah, maka otomatis segala perkataan anda adalah dusta dan sedang taqiyah. Sekali anda disebut simpatisan ide kilafah, maka anda otomatis dituduh pendukung teroris dan tak berhak punya hak sipil. Sekali anda dilabeli sebagai liberal, maka anda pasti suka seks bebas, membenarkan semua agama dan sebagainya dan sebagainya.

Stereotip dan propaganda adalah mesin keji yang membenarkan kebengisan. Ketika anda mempertanyakan metode penanganan terorisme yang kerap menggunakan kekerasan total, sehingga seluruh pelakunya mati, maka anda dianggap membela dan mendukung terorisme.

Seolah dunia dibagi hitam dan putih, seolah tidak ada prosedur jelas tentang bagaimana menghadapi krisis apabila tersangka yang hendak ditangkap melakukan perlawanan. Sejauh mana polisi bisa bertindak? Siapa yang mengontrol polisi? Dan bagaimana kinerja mereka bisa dievaluasi?

Setelah Ahmadiyah, Syiah, Pendukung Kilafah, kini kelompok yang paling mengalami represi dan penindasan paling keji adalah kelompok yang diduga sebagai simpatisan Gafatar. Rumah mereka di Mempawah dibakar, dituduh bukan lagi islam, sementara di Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara mereka dipaksa bersyahadat, dituduh pengikut nabi palsu, semua hanya berdasar katanya, menurut cerita, dan dugaan. Seberapa besar dari kita yang benar-benar mau mencari tahu?

Kebengisan ini membuat saya ngeri. Negeri yang katanya ramah dan penuh tepa selira ini rupanya munafik. Mereka adalah satu kesatuan penjahat yang bergerak berdasar prasangka, membenarkan kekerasan berdasarkan kecurigaan, dan tunduk pada otoritas selama mereka menghabisi kelompok yang dibencinya.

Beberapa kali saya membaca status dan cuitan yang mendukung kerja polisi untuk bertindak agresif. Mereka yang dituduh, catat dituduh dan belum terbukti menjadi teroris, baiknya ditangkap saja, kalo perlu ditembak dan dibunuh. Alasannya mencegah terorisme tumbuh. Jika ini dilakukan, apa bedanya kita dengan para jagal fasis nazi dan orba yang membunuh jutaan manusia dengan alasan stabilitas?

Hal serupa bisa ditemukan pada kelompok intoleran. Mereka merasa syiah dan ahmadiyah baiknya dibunuh saja, agar agama tetap terjaga. Kelompok ultra nasionalis merasa kelompok simpatisan Organisasi Papua Merdeka baiknya dibunuh saja, agar NKRI tetap terjaga. Para orang tua merasa pengedar atau yang ikutan dengan industri narkoba dihukum mati saja, agar anak anak mereka tidak terjangkiti kecanduan obat terlarang.

Those who criticize our generation forget who raised it.

Terorisme, fasisme, intoleransi, dan kecanduan obat-obatan terlarang terjadi tidak sekedar karena silogisme Karena A maka B. Ide tak bisa dilawan dengan kekerasan atau hukuman mati. Kekerasan hanya akan membuat idiologi menjadi laten. Semakin keras menghabisi musuh yang anda anggap tak terselamatkan, makin berlipat ganda mereka.

Bertolt Brecht pernah berkata “first bread, then morality”. Kira-kira dalam konteks hari ini, tembak dulu, mikir belakangan. Yang penting kalau mereka bukan kelompok saya, atau saya tidak suka dengan mereka, ya habisi saja. Moralitas dan empati hanya bekerja parsial, yaitu berdasar sentimen pribadi. Jika musuh, mesti dihabisi, jika kerabat sendiri mesti adil dan terukur.

Tulisan lama ini pernah muncul di blog lama saya kandhani.net

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet