Belajar dari Mogok Buruh

dhani
4 min readOct 8, 2020

Mogok nasional kerap mengecewakan dan kemungkinan besar gagal. Tapi apakah membuat gerakan buruh atau demonstrasi buruh menjadi sia-sia? Tidak. Malah sepertinya kita perlu belajar dari mereka. Kita, saya dan anda, perlu belajar dari gerakan buruh, mogok nasional dan bagaimana berserikat bisa memberikan dampak demikian hebat pada pihak-pihak yang terkait.

Ada banyak kelompok kerja yang perlu belajar dari mogok dan demonstrasi buruh. Misalnya guru honorer, bidan, perawat, atau bahkan dokter sekalian. Lho kok dokter? Bukannya dokter sudah mapan? Nah itu nanti saya jelaskan. Tapi sebelumnya kita perlu belajar lagi tentang gerakan buruh, serikat dan pemogokan. Mengapa ia penting dan perlu dilakukan oleh kelompok pekerja di luar buruh.

Salah satu serikat buruh yang paling awal adalah Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB). PGHB kemudian berkembang menjadi Perserikatan Guru Indonesia, yang bertujuan untuk melindungi dan mengembangkan profesi guru saat masa kekuasaan belanda. Namun ketika jepang datang PGI dihapuskan, kemudian pada 1945 berdiri persatuan guru republik Indonesia yang ketika menyelenggarakan kongres pertama menghasilkan satu keputusan penting.

“Membela hak dan nasib buruh umumnya dan guru khususnya.”

Solidaritas antara guru dan buruh ini merupakan cermin kesadaran kelas. Tidak ada kelas menengah atau kelas bawah dan kelas atas. Kesadaran ini hanya membawa pertentangan antara dua kelas. Kelas borjuis dan pekerja. Ilusi tentang kelas menengah menghasilkan borjuis-borjuis kecil yang kemudian merasa tidak sama dengan buruh tapi juga tidak becus disebut borjuis. Lha kok malah bahas kelas? hehehe

Mengapa guru, terutama guru honorer perlu membentuk serikat? Karena dengan berserikat para guru honorer tidak lagi berjuang sebagai individu, namun sebagai kolektif manusia yang bersepakat. Melalui serikat guru honorer, bidan, perawat dan profesi apapun itu bisa mendapatkan advokasi atau pembelaan dari persoalan yang merugikan mereka jika ada pimpinanan yang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang di atur di dalam Undang-Undang.

Guru honorer, bidan, perawat dan dokter yang berserikat akan bergerak bersama untuk memperjuangkan kepentingan atau hak mereka. Dimana solidaritas antar profesi akan mampu menekan pihak yang menindas mereka. Tentu akan beda perjuangan satu orang dan perjuangan puluhan ribu orang. Bayangkan begini, jika guru honorer yang diupah murah (bahkan menghina akal sehat karena kecilnya nominal) itu bersatu, menuntut pemerintah untuk memperbaiki kualitas upah mereka. Tentu para guru honorer tidak perlu tersiksa.

Lantas mengapa guru honorer, bidan, perawat atau dokter tidak berserikat atau melakukan pemogokan? Ada kok yang mogok dan berserikat, tapi tak punya daya tekan seperti serikat buruh. Mengapa? Karena, maaf ini tidak bisa saya buktikan, guru honorer, bidan perawat atau dokter, merasa berbeda kelas dengan buruh. Sehingga mereka tak punya semangat solidaritas seperti buruh. Aksi mereka cenderung parsial, tidak terkoordinasi dan juga kurang masif.

Saya kira guru honorer, bidan, perawat atau dokter di pedalaman yang dibayar murah dan tak layak mesti menuntut perbaikan kualitas hidup dan juga upah. Hak mereka semestinya dibayar tinggi. Guru mencerdaskan, bidan membantu kelahiran, perawat serta dokter menyelamatkan hidup. Lantas apa yang membuat mereka segan dan tidak mau bersatu bersama serikat buruh atau bergerak bersama serikat buruh?

Hegemoni penguasa membuat profesi buruh, bidan, guru, dokter dan perawat seolah olah terpisah dan berbeda kelas. Padahal pada dasarnya mereka sama, kelas pekerja. Guru dinina bobokan sebagai pahlawan tanpa jasa, bahwa pekerjaan mereka adalah pengabdian, sehingga menuntut gaji tinggi atau upah layak adalah hal tabu, tidak bersyukur dan gak tahu diri. Padahal guru selain pengabdi ia juga profesi, keterampilan yang didapat dari proses belajar dan keilmuan. Jika kita tak bisa membedakan antara pengabdian dan profesi, selamanya guru honorer yang menuntut perbaikan upah akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu diri.

Guru honorer, saya kira, berhak diupah dengan layak. Berserikat, selain dapat membantu guru honorer memperjuangkan hak mereka, juga dapat menjadi organisasi yang mengembangkan kemampuan mereka. Serikat jangan dimaknai sebagai organisasi yang bisanya menuntut, tapi juga tempat untuk mengembangkan keterampilan lebih baik lagi.

Ada banyak protes buruh di dunia yang tak melulu minta kenaikan upah. Misalnya protes serikat guru yang meminta perbaikan kualitas pendidikan ketimbang pembangunan museum mewah. Lalu bagaimana dengan pekerja medis? Seperti dokter di pedalaman, bidan, dan perawat? Lha bukannya mereka itu kaya? Benarkah demikian?

Beberapa kasus, kita menemukan, dokter di pedalaman dengan pengabdian mereka tidak mendapatkan upah yang layak. Jangankan upah, obat, peralatan medis saja kadang tidak memenuhi standar. Nah Perawat serta Bidan, ini saya dulu pernah iseng nanya, apakah mereka semua punya jaminan kesehatan yang layak? Apakah upah yang diterima sebanding dengan jam dan beban kerja? Jika tidak kenapa tidak protes?

Sekali lagi. Doktrin mengabdi kepada kemanusiaan membuat bidan dan perawat atau bahkan dokter di pedalaman mengabdi tanpa protes. Mereka segan. Citra bahwa jadi perawat, bidan dan dokter di pedala adalah profesi mulia membuat mereka bekerja seperti budak. Dibayar tidak layak, jaminan sosial buruk dan kerap kali bekerja dengan standar yang jauh dari minimum. Selama pekerjaan bidan, perawat, dokter pedalaman tidak memperhatikan pertimbangan profesi ia akan terus dibuat tunduk dengan kata “Pengabdian”.

Apakah dokter tidak boleh mengabdi? Tentu saja boleh. Apakah dokter haram untuk buruh? Di Indonesia dokter dan pekerja medis beberapa kali melakukan pemogokan. Tapi berbeda dengan buruh, mereka sporadis, klise dan tak punya daya tekan. Ketika mogok lantas terjadi kematian mereka juga kerap disalahkan dan disudutkan. Familiar? Yak benar, persis ketika buruh demonstras dan mogok mereka disudutkan oleh generalisasi. Dokter yang mogok juga disudutkan dengan generalisasi “Udah kaya kok masih demo nuntut apa?”

Saya kira mogok, berserikat, dan demonstrasi menuntut perbaikan upah bukan ekslusif milik buruh. Kelas pekerja lain berhak. Hanya yang membedakan adalah kesadaran kolektif dan kesadaran politik dari masing-masing kelas pekerja. Buruh sadar akan potensi mogok dan berserikat, sementara kelas pekerja lain belum.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet