Beberapa Hal Tentang LGBTQ

dhani
6 min readNov 2, 2022
Two women in the rain (1925–1936) by Ohara Koson (1877–1945). Original from The Rijksmuseum. Digitally enhanced by rawpixel.

Sebelum membahas tentang Lesbian Gay Bisexual Transgender and Queer, ada baiknya kita memberikan batasan yang jelas. Apa yang ingin kita bahas tentang LGBTQ? Orientasi seks? Ekspresi gender atau identitas seksual?

Mengapa ini penting? Karena perbincangan tentang LGBTQ kerap kali cuma berkisar pada orientasi seks, entah lesbian, gay, atau bisexual. Padahal spektrum pembahasan LGBTQ sangat luas. Salah satu cara agar kita bisa sedikit saja memahami konteks LGBTQ adalah dengan memahami perbedaan dari masing-masing definisi yang ada didalamnya.

LGBTQ akan mudah dipahami jika kita memiliki pengetahuan mengenai kebutuhan, orientasi seksual, dan gender yang dimiliki manusia. Kebanyakan peradaban kita lahir dan dibesarkan dengan nilai heteronormativitas; norma-norma yang menyatakan bahwa seseorang dianggap normal hanya jika memiliki orientasi heteroseksual. Seseorang yang heteronormatif mengasumsikan bahwa heteroseksualitas adalah satu-satunya orientasi dan satu-satunya norma.

Apa sih orientasi seksual itu? Orientasi seks adalah ketertarikan baik secara fisik, emosional, romantisme, dan atau seksual pada jenis kelamin tertentu. Beberapa contoh orientasi seksual:

Heteroseksual: ketertarikan baik secara fisik, emosional, romantisme, dan atau seksual pada jenis kelamin yang berbeda.

Homoseksual: ketertarikan baik secara fisik, emosional, romantisme, dan atau seksual pada jenis kelamin yang sama. Misalnya, GAY adalah laki-laki yang tertarik pada sesama laki-laki, dan LESBIAN adalah perempuan yang tertarik pada sesama perempuan.

Aseksual: Seseorang yang tidak memiliki ketertarikan, tetapi tidak memungkiri bahwa seorang yang aseksual bisa saja memiliki ketertarikan secara fisik saja, atau emosi saja, atau bahkan sexual saja, tidak ada patokan yang resmi karena berbicara mengenai otoritas seseorang itu sendiri.

Biseksual: ketertarikan baik secara fisik, emosional, romantisme, dan atau seksual pada laki-laki dan perempuan.

Panseksual: ketertarikan baik secara fisik, emosional, romantisme, dan atau seksual yang tidak memandang identitas gender maupun jenis kelamin. Seorang yang panseksual dapat memiliki ketertarikan dengan sesama laki-laki, sesama perempuan, maupun keduanya, kepada transgender, maupun interseks.

Demiseksual: ketertarikan baik secara fisik, emosional, romantisme, dan atau seksual yang tidak memandang identitas gender maupun jenis kelamin apapun, akan tetapi melibatkan emosi yang sangat kuat dan membutuhkan waktu yang lama untuk membangun hubungan emosional dengan seseorang.

Spektrum orientasi seks yang luas ini kerap kali direduksi hanya sekedar suka beda jenis atau suka sesama jenis. Padahal ada orang yang tak suka siapapun, suka semuanya, dan suka seseorang tapi butuh waktu yang lama untuk bisa nyaman. Dalam masyarakat heteronormatif, mereka cuma percaya laki-laki ya suka perempuan dan sebaliknya. Susah bagi mereka untuk percaya ada orang yang tak punya ketertarikan seksual pada siapapun, Aseksual sepenuhnya ada dan banyak.

Setelahnya ada pula identitas gender, yaitu bagaimana kita mengidentifikasi diri sebagai gender yang ajeg. Hal ini biasanya disertai ekspresi gender, seperti: laki-laki yang maskulin, ada perempuan yang feminin, ada laki-laki yang feminin, ada perempuan yang maskulin.

Ada pula orang yang tidak ingin mengidentifikasi dirinya baik sebagai laki-laki, perempuan, maupun transgender. Ekspresi ini masuk dalam genderqueer, beberapa juga menyebut diri sebagai androgini. Istilah genderqueer dan androgini tidak selalu setara atau selalu dapat dipertukarkan. Genderqueer, berdasarkan ikatannya dengan budaya queer, membawa konotasi sosio politik yang tidak dibawa oleh androgini.

Ada pula karakteristik seksual yang berkaitan dengan struktur tubuh biologis. Poin ini berkaitan dengan kromosom dan ciri-ciri tubuh manusia berdasarkan bagaimana ia dilahirkan. Ketika bayi baru lahir, biasanya seorang dokter akan langsung menentukan gender bayi tersebut berdasarkan karakteristik kelaminnya, namun mengesampingkan jumlah kromosom, gonad, dsb.

Ini akan berdampak pada anak tersebut ketika memasuki usia dewasa. Anak yang seharusnya laki-laki dapat saja menunjukkan tanda-tanda tumbuh payudara, atau mengalami menstruasi, ketika ia memasuki usia remaja. Kondisi seperti ini disebut interseks.

Seorang interseks adalah orang yang lahir dengan variasi karakteristik seks seperti kromosom, kelenjar kelamin, hormon, atau organ genitalia yang tidak padan dengan definisi umum mengenai laki-laki atau perempuan.

Lalu apakah spektrum LGBTQ yang dijelaskan di atas adalah propaganda barat? Secara sederhana tidak, tapi tuduhan ideologi liberal barat lahir dari ketidaktahuan. Bahwa dalam tradisi masyarakat di dunia, baik di Indonesia (Asia Tenggara), Iraq (Mesopotamia- Timur Tengah), Mesir (Afrika), hingga Hawaii (Pasifik) tradisi yang berkaitan dengan Queer sudah ada dan banyak.

Ada sosok empat ekspresi gender di dalam masyarakat Bugis. Bissu mengambil peran gender laki-laki dan perempuan dan dilihat sebagai separuh manusia dan separuh dewa, bertindak sebagai penghubung antara kedua alam manusia dan alam dewa. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, golongan Bissu bersama dengan golongan Calabai (“bukan perempuan”) dan Calalai (“bukan laki-laki”), diberi kewenangan penuh dan tidak ada larangan untuk memasuki bagian tempat tinggal perempuan maupun laki-laki di desa-desa.

Tradisi Warok Gemblak juga ada sebelum ide liberalisme barat masuk ke Indonesia. Warok adalah sebutan lelaki yang punya sifat kesatria, berbudi pekerti luhur, dan memiliki wibawa tinggi di kalangan masyarakat. Pada awalnya warok digambarkan sebagai sosok pengolah kanuragan yang demi pencapaian ilmu dan kesaktiannya, mereka melakoni “puasa perempuan” alias tidak berhubungan dengan wanita, melainkan dengan anak laki-laki berumur 11–15 tahun yang acapkali disebut gemblakan. di Ponorogo.

Di Asia Tenggara tradisi Queer bisa dilacak seperti Kathoey di Thailand dan Manangs di masyarakat Iban di Malaysia. Di Afrika, Suku Ganda atau Baganda, (kelompok etnis terbesar Uganda) wanita dari klan kerajaan disapa dengan gelar pria dan tidak diharuskan untuk melakukan tugas yang diharapkan dari wanita. Secara lebih luas, dari Azande Kongo hingga Beti Kamerun, dan dari Pangwe Gabon hingga Nama Namibia, terdapat bukti etnografis hubungan sesama jenis di Afrika pra-kolonial.

Justru homofobia, kebencian terhadap LGBTQ, yang terlembaga melalui peraturan yang menghukum praktik homoseksual dan ekspresi gender lahir dari kolonialisme, atau produk barat. Di Afrika, kebanyakan aturan hukum yang mengancam perilaku homoseksual adalah produk dari negara-negara penjajah. Di Hawaii, pelarangan ekspresi yang bertentangan dengan heteronormatif, merupakan produk kolonial dan gereja.

Di Hawaii pra-Kristen, Māhū adalah kategori individu yang dihormati dan dikagumi. Māhū dianggap sebagai penjaga adat tertentu, dan mereka memainkan peran penting dalam mewariskan kebijaksanaan mereka kepada generasi berikutnya melalui praktik tradisional, seperti hula dan nyanyian.

Mereka adalah apa yang kita sebut transgender, orang-orang yang peran gendernya ditentukan secara sosial berbeda dari jenis kelamin yang ditentukan secara genetik. Mereka dipandang sebagai makhluk seimbang yang mengekspresikan maskulinitas dan feminitas mereka dengan mudah dan bebas.

Dalam mitologi Hawaii, kekuatan orang-orang yang mencakup kedua jenis kelamin dapat dilihat dalam legenda Laka, dewa/dewi hula, yang diyakini sebagai dewa campuran. Setelah datangnya penjajah dan gereja, gender dianggap sebagai biner, ideologi dominannya adalah bahwa perbedaan jenis kelamin biologis mendominasi peran gender, dan setiap variasi dari pola ini adalah abnormal.

Dalam perbincangan tentang LGBTQ sebenarnya kita bisa sederhana saja. Tak masalah jika kamu menganggap LGBTQ menyimpang, tapi ada baiknya mencari tahu spektrum-spektrum di dalamnya. Seorang Aseksual dan Intersex misalnya, tak bisa sekedar dianggap melanggar norma karena ia berbeda. Atau orang Demiseksual dianggap menyalahi norma karena menolak menikah dengan orang yang tak punya ikatan emosi mendalam.

Perbincangan soal LGBTQ kerap cuma membahas soal homosex dan jadi buruk karena berputar di antara penyuka dubur, banci, propaganda liberal barat tanpa menyadari bahwa dalam tradisi timur, queer ada tapi dihancurkan oleh kolonialisme dan gereja.

Tidak mau menerima LGBTQ karena iman adalah hal yang tak perlu diperdebatkan. Iman adalah hal yang personal. Agama, bagiku senantiasa punya aspek privat dan sosial.

Pertama “Karena agamaku melarang, maka aku tak akan melakukannya,” ini adalah keyakinan yang lahir dari iman ketaatan.

Kedua “Karena agamaku melarangnya, aku akan menjaga keluargaku untuk tidak melakukannya, ini tanggung jawabku,” ini adalah keyakinan yang lahir dari iman kolektif.

Tetapi ketika ia mengharuskan kekerasan, ancaman, kebencian, maka iman tersebut perlu diperiksa lagi. “Karena agamaku melarang, maka kamu tidak boleh melakukan itu,” menunjukkan kualitas iman yang butuh validasi dari orang lain, membatasi orang lain, karena takut dengan membiarkan kita akan ikut berdosa.

Aku pribadi tak masalah dengan orang yang menolak LGBTQ, tetapi jika ia menyerukan kebencian apalagi kekerasan atau pembunuhan, itu adalah hal yang lain. Ia lahir dari kepandiran, rendah diri, dan kebusukan hati.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet