Bagaimana Sheila On 7 Menemani Hidup Saya

dhani
5 min readMar 22, 2021

Sheila On 7 bagi saya adalah grup musik yang terus tumbuh. Ketika pertama kali punya pacar dan merasakan kehidupan tanggung remaja puber bersama lagu “J.A.P” hingga kekuatan merelakan dari lagu “Lapang Dada”, Sheila memberikan musik yang mampu mengiringi setiap momen dalam hidup penggemarnya tanpa berkotbah.

Saya ingat pertama kali mendengar lagu “Kita” di radio Romantika, di Bondowoso, pada 1999. Semua teman membeli kaset Sheila on 7 di toko kaset RK Musik. 40 kaset ludes dalam sehari dan yang tak kebagian harus menunggu seminggu hingga kiriman dari Surabaya datang.

Mereka yang tak sabar, membawa uang 500 perak dan kaset kosong ke radio-radio setempat untuk merekam kaset itu secara ilegal tentunya. Membuka cover kaset warna hijau, membaca ucapan terima kasih menebak-nebak siapa itu Duta, Adam, Anton, Sakti, dan Eros.

Saya ingat teman-teman sekelas berlomba menghapal lirik setiap lagu dari side A dan side B, mengulik kunci gitar, dan mengirimkan kode J.A.P untuk perempuan yang mereka suka. Kenangan semacam ini, membawa kita pada sebuah momen yang partikular dan demikian intim.

Saat pandemi belum ada, saat persoalan paling besar dalam hidup adalah ujian matematika hari Rabu, setelah pelajaran Olahraga. Saat itu musik jadi eskapisme, jadi sebuah peristiwa kolektif yang menyenangkan. Pulang dari sekolah berkumpul di rumah teman yang punya sound system paling aduhai, berteriak-teriak sembari menyanyikan lagu “Pede”.

Setiap hari sebelum berangkat sekolah, memutar VCD bajakan, saya mendengarkan lagu Just For My Mom, ibu saya yang tak bisa bahasa Inggris itu hanya bisa kesal karena waktu menonton Aa’ Gym terganggung. Tapi bukankah cinta kadang seperti itu, usaha akbar yang kita lakukan kerap kali tak punya harga di hadapan orang yang kita sukai.

Menjelang SMA, saat semua teman beralih pada Nu Metal, berusaha pakai minyak rambut untuk jadi serupa Chester Benington Linkin Park atau pakai kaus hitam-hitam ala Korn, Sheila menyeruak dengan “Sahabat Sejati” dan menjadikan “Kisah Klasik Untuk Masa Depan” sebagai lagu wajib penutup pensi sekolah.

Saya mendengarkann 07 Des, OST 30 hari Mencari Cinta, dan Pejantan Tangguh sembunyi-sembunyi. Menutupi identitas diri sebagai Sheila gank, karena jadi Outsider lebih keren. Tapi saat sedang ditolak, saat kamu dikecewakan, kamu tak mendengarkan Kuta Rock City, tapi mendengar Berhenti Berharap sembari menangis.

Toxic masculinity membuatku percaya bahwa mendengarkan lagu cinta itu menyedihkan dan seorang laki-laki harus keras dan lantang. Bicara tentang rock n roll dan bukan kehilangan, mendengarkan lagu yang penuh teriakan ketimbang syair permohonan. Hanya seorang teman, almarhum Ahmad Dahlan, yang secara terbuka dan konsisten menjadi penggemar tanpa harus merasa malu.

Kemerdekaan mendengarkan musik tanpa peduli cibiran dan komentar orang lain adalah berkah tersendiri. Ia bisa dengan lancar bicara hendak membeli kaset Base Jam, Sheila on 7, dan Jikustik setelah sekolah tanpa harus malu diledek mendengar lagu pop picisan. Tapi apakah sebenarnya yang picisan dan bukan? Musik semestinya membawa kegembiraan.

Mendengar Sheila serupa ruang di bawah selimut di atas kasur, tempat nyaman yang membuatmu merasa aman dan tak dihakimi. Lingkungan berubah dan lagu “Pria Kesepian” atau “Pemuja Rahasia” makin relevan. Saat sendiri merayakan kesedihan, meski tetap berusaha tetap cool dengan kaos System of A Down di ruang publik.

Kehidupan ganda semacam itu benar-benar melelahkan, hingga akhirnya memutuskan pergi dan tak lagi mendengarkan Sheila on 7. Setelah 2005 album “507" dan “Berlayar” rilis saya tak pernah benar-benar mendengarkan Sheila. Mungkin karena telah lelah dikecewakan atau rasa malu itu benar-benar mengambil alih?

Belakangan saya bertanya pada diri sendiri. Saat menjadi mahasiswa apa yang membuat saya berhenti mendengar Sheila? Apakah karena masuk organisasi aktivisme kampus? Atau karena merasa bahwa Sheila teralu menye, terlalu pop, untuk lingkungan intelektual kampus yang menggandrungi Efek Rumah Kaca atau Melancholic Bitch?

Dua hari lalu saya menonton video pendek dari Ethan Hawke yang bercerita apa fungsi seni bagi peradaban. Mungkin seni tak bisa menyelesaikan perang, tidak bisa mengobati kanker, tak bisa menyelesaikan kelaparan dunia, meski demikian seni membuatmu sadar bahwa hidup mungkin layak diperjuangkan. Tapi bagaimana caranya?

Lagipula apa sih pentingnya seni? Apa pentingnya puisi, musik, film, novel bagi kelangsungan hidup dunia? Ethan Hawke memulai percakapan tentang kreativitas (atau seni) dengan perspektif yang sederhana. Manusia baru menghargai seni, seperti puisi, seperti musik, ketika kita dihantam oleh perasaan-perasaan yang tak bisa dijelaskan oleh sains atau apapun itu.

Tentu, kita bisa mendebat, patah hati bisa dijelaskan dengan psikologi, kecemasan dan rasa sesak didada bisa dijelaskan secara medis, tapi perasaan-perasaan yang menyertainya itu lahir dan hanya bisa diterjemahkan dengan apik oleh seni. Saat kamu patah hati, kehilangan saudara, ditinggal mati, musik dan puisi membuatmu bisa memahami, oh ini rasanya sedih, oh ini rasanya kehilangan.

Seni memberimu kesempatan untuk bisa menghargai apa yang ada, apa yang kita terima sebagai suatu yang wajar, lantas dengan medium yang ada membuat kita sadar bahwa ada hal-hal yang layak diapresiasi, layak disyukuri keberadaannya. Kamu akan merasakan itu di “Lihat, Dengar, Rasakan” dan “Hari Bersamanya”.

Mungkin matematika yang membantu peluncuran roket menuju bulan, atau belajar kimia akan membantumu selangkah lebih dekat dengan mengobati kanker. Tapi tak semua orang berencana mengubah dunia. Beberapa dari kita hanya berharap bisa bertahan hari ini, berharap bisa memperbaiki apa yang rusak.

Beberapa lagu membantumu untuk jadi lebih baik dan menyadari kesalahan diri. Lagu seperti “Dan” bisa jadi sebuah medium pengampunan, kamu menyadari sebuah hubungan demikian toxic dan harus diakhiri. Baru setelah menonton “Posesif” saya menyadari bahwa lagu bisa menggambarkan dengan sempurna sebuah perasan.

“Dan” bercerita tentang merelakan cinta yang tak bisa diselamatkan. Alunan lagu, lirik, hingga suara yang dihasilkan adalah gambaran paripurna dari perasaan itu. Tidak Berdaya.

Saya kembali mendengarkan dengan zuhud Sheila on 7 setelah album “Musim yang Baik” hadir. Kamu sadar bahwa lagu sheila ikut tumbuh seiring penggemarnya. Sheila masih sama. Mereka orang yang sama yang membuatmu merasa tak sendiri dengan “Kita”, merasa berharga melalui “Sahabat Sejati”, merasakan semangat di “Lompat Lebih Tinggi,” dan merelakan melalui “Waktu Yang Tepat Untuk Berpisah”.

Sheila on 7 menemani kita untuk tumbuh. Dari remaja tanggung ingusan yang baru akil baligh pada 1999 hingga jadi pria penderita GERD yang cemas menghadapi pandemi pada 2021. Hari ini mereka masih ada dan masih menemani kita pada momen-momen yang penting.

Saya pikir kita perlu mengucapkan terima kasih pada Sheila untuk tahun-tahun yang telah dilewati, untuk setiap lagu yang diciptakan, dan untuk perasaan-perasaan yang diwakilkan melalui musik yang mereka bikin.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

Responses (2)