Bagaimana Cara Mempersiapkan Perpisahan

dhani
5 min readJul 31, 2020
Henri Rousseau’s The Snake Charmer (1907) famous painting Original from Wikimedia Commons. Digitally enhanced by rawpixel.

Bertahun lalu, ketika saya menganggap Linkin Park itu satu-satunya band paling hebat di dunia dan tak pernah tahu cara merancap, saya selalu membenci Jakarta. Kota ini punya banyak cara dan alasan untuk menghisap habis semangat hidupmu, kebahagiaanmu, keriaan yang kamu rasakan, dan segala yang kemudian menjadikanmu demikian getir pada yang berbeda. Tapi sekarang, saat ini, di detik ini, di hadapan kalian, saya meninggalkan Jakarta.

Tujuh tahun lalu saya datang ke Jakarta untuk menikahi perempuan yang saya kira sebagai yang satu-satunya. Tapi kemudian, sekali lagi, Jakarta mengajarkan bahwa “yang satu-satunya” selalu klise, saya dibuat percaya bahwa memiliki yang kedua, yang ketiga, dan seterusnya adalah kewajaran, selama kamu tak ketahuan. Jakarta mengubahmu atau pelan-pelan ia menunjukkan siapa sebenarnya kamu? Kota ini tak punya kuasa mengatur hidupmu, ia membuatmu memilih dan sialnya kerap kali pilihannya bukan soal bahagia atau menjadi tak bahagia.

“Aku akan pergi,” kata perempuan itu. Makanan buruk yang sedari tadi coba saya kunyah semakin hambar dan tak menarik lagi. Dulu saya percaya bahwa hidup di Jakarta adalah perkara membuat hidup jadi lebih keras. Di Jakarta, atau di kota manapun kamu berada saat ini, barangkali kamu sedang sendirian, merasa bahwa hidup kerap kali merupakan repetisi. Dari satu kesibukan ke kesibukan yang lainnya. Kamu dibuat menjauh dari keinginan, angan-angan, dan sebaris puisi. Kamu membuat mekanisme pertahanan yang keras. Mimpi itu kerjaan orang bodoh, angan itu kata tak berguna, dan cita-cita itu semacam ketololan. Kamu mengganti mimpi dengan ambisi, mengganti angan dengan target, dan cita-cita dengan capaian.

Perempuan itu membuat saya jatuh cinta lagi. Atau saya pikir demikian. Kukira kalian juga pernah merasakan apa yang saya alami. Menjadi pahit pada hidup, membenci segala sesuatu, berusaha keras pada diri sendiri, hingga suatu hari ada orang asing, orang bodoh, yang tersenyum pada kita, membiarkan dirinya kita sentuh, dekati, untuk kemudian meminta kita untuk melupakannya. Lantas pelan-pelan kita mengingat mengapa kita jadi getir dan jahat. Selama ini kita kerap dikecewakan oleh keinginan, seperti mimpi untuk menemukan pasangan hidup, atau pekerjaan yang kita harapkan.

Kita perlahan mengganti setiap harapan dengan kecemasan. Cemas besok akan makan apa, cemas besok akan membayar cicilan dengan apa, cemas dengan hal-hal yang membuat kita melupakan cara menikmati hidup. Seperti tokoh dalam sinetron. Kita menghamba pada benda. Lantas suatu hari, saat kamu merasa bahwa hidup sudah terlalu tengik, sudah tak lagi punya arti, dan hidup hanya sekedar menyelesaikan tenggat satu dan tenggat yang lain, tuhan bercanda dengan membuatmu jatuh cinta. Misal dengan membuatmu bertemu dengan seorang gadis yang tak pernah kamu pikir akan temui sebelumnya.

Perempuan itu adalah gadis yang kamu temui di pojok restaurant tempat makan favoritmu. Perempuan itu adalah gadis yang kamu temui berdiri membaca buku Mandasia di elevator sebuah mall yang bising. Perempuan itu adalah gadis mungil dengan senyum lebar dan hati yang lapang. Seorang pekerja keras yang nyaris tak pernah mengeluh, meski harus menghidupi keluarganya. Perempuan itu bisa jadi siapapun. Tapi bagi saya, malam itu, hari itu, ia adalah gadis yang berkata bahwa ia hendak bahagia, ia ingin menemani saya membaca, menonton TV, bicara tentang vespa, perang dunia pertama, dan kosmos. Malam itu saya jatuh cinta lagi, dengan babak belur. Kalian tahu kan rasanya?

Kamu kembali mengenal puisi. Lantas seperti remaja tanggung yang kasmaran, kamu merasakan demam, panas dingin, pelan-pelan kamu merasa hidupmu yang brengsek itu punya arti lagi. Kamu memberanikan diri mendekati gadis itu, menjabat tangannya, lantas berbincang. Meski kamu tahu bahwa pertemuan ini tidak akan berujung pada hubungan yang mapan, kamu terlalu keras kepala untuk percaya bahwa agama, seperti juga perbedaan suku, tidak perlu jadi alasan perpisahan. Kelak kamu tentu akan menyesali pertemuan itu, tapi seperti setiap anak-anak yang tak pernah belajar, kamu merayakan pertemuan itu dengan tertawa lepas.

Kamu pulang dengan senyum lebar serupa bayi yang kekenyangan menghisap puting susu ibunya. Kamu tak juga lekas tidur berusaha mengingat kembali dengan detail tentang jabat tangan yang sebentar. Perlahan-lahan kesepian yang tak dapat lumer akibat pekerjaan dan mimpi-mimpimu yang tertunda menjadi leleh. Kamu memutar lagu pop, Justin Bieber, Beyonce, dan bahkan kamu mulai menonton drama Korea. Seperti kelasi yang merindukan daratan, kamu merindukan senyum itu. Senyum yang dikenali setiap pelaut sebagai aroma garam pada geladak kapal. Kamu merasa nyaman, seolah berada di rumah.

Kamu jatuh cinta lagi berharap bahwa kesalahan yang kamu lakukan di masa lalu akan lunas dengan ketidakbahagiaan dan penderitaan yang telah kamu lalui. Tapi kamu salah, karma bukan anjing betina jalang, ia adalah tukang jagal yang tak pernah lupa setiap kesalahan yang kamu bikin. Kamu dibuat berharap dengan demikian hebat. Setiap pertemuan membuatmu semakin ingin memiliki. Seperti benda, kamu tak lagi memperlakukan perempuan itu dengan setara. Kamu ingin memilikinya, mendekapnya, dan berharap bahwa ia juga mau padamu, tapi tentu kamu sadar tak pernah ada manusia yang layak diperlakukan demikian.

“Aku tak lagi ingin bersama,” kata perempuan itu. Lantas seperti orang tolol dan pecundang kebanyakan. Kamu menyerah memperjuangkan perasaanmu sendiri. Kamu menjauhi perempuan itu. Bersikap ketus padanya. Mendiamkan pesannya. Seolah kamu tak lagi mau bertemu dengannya. Sementara kamu menjilat pantat gengsimu dengan bersih, hatimu tersiksa, dan setiap hari adalah usaha lain bertahan hidup. Menjalani rutinitas sembari meyakinkan diri bahwa apa yang kamu lakukan adalah hal yang benar.

“Kamu sudah tigapuluh tiga, cinta bukan untukmu,” kamu meyakinkan dirimu dengan mantra itu berulang-ulang. Berkali-kali. Hingga akhirnya kamu mempercayai kebohongan yang kamu buat sendiri. Kamu mempersiapkan dirimu sendiri untuk menghadapi perpisahan itu. Kamu menghapus setiap pesan, menghindari setiap kontak, dan menganggapnya tidak pernah ada sejak awal. Perempuan itu mungkin kecewa, sama kecewanya denganmu, tapi apa pedulimu bukan? Perempuan itu membuatmu jatuh cinta hanya untuk kemudian pergi dengan berkata bahwa ia mencintai orang lain.

Tapi saya tahu, kamu tahu, ini bukan salahnya. Di kepalamu, perdebatan sengit terjadi. Sebagian dari saya membela perempuan itu, sementara yang lain hendak menyalahkan seluruh tragedi ini kepadanya.

“Kamu tak bisa memilih dengan siapa kamu jatuh cinta,” katamu.

“Ya, dan kamu memilih jatuh cinta dengan orang yang hendak pergi jauh,” katamu yang lain.

“We fall in love with people we can’t have,” katamu.

“No, We accept the love we think we deserve. And she’s just not that into you,” katamu yang lain.

Perdebatan tentang perempuan itu membuatmu semakin berantakan. Pekerjaanmu tertunda, tenggat terlewat, target luput, dan ambisimu memudar. Kamu tak lagi percaya puisi, kamu berhenti mendengarkan lagu pop, dan kamu mulai menyakiti dirimu sendiri. Latihan kardio dua kali lebih banyak dari beban yang kamu bisa, makan lebih banyak buah, dan kemudian menangis tanpa sadar saat kamu terdiam di kamar. Di kepalamu, kamu merasa bahwa ini adalah cara paling masuk akal untuk bertahan dari perpisahan dengan perempuan itu.

Perempuan itu adalah gadis yang kamu temui di pojok restaurant tempat makan favoritmu. Perempuan itu adalah gadis yang kamu temui berdiri membaca buku Mandasia di elevator sebuah mall yang bising. Perempuan itu adalah gadis mungil dengan senyum lebar dan hati yang lapang. Seorang pekerja keras yang nyaris tak pernah mengeluh, meski harus menghidupi keluarganya. Perempuan itu bisa jadi siapapun. Tapi bagi saya, malam itu, hari itu, ia adalah gadis yang tak ingin lagi bersama. Saya lantas meninggalkan Jakarta, meninggalkan impian sendiri, setelah dibuat jatuh cinta dengan babak belur.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet