Bagaimana Cara Hidup Jika Yang Kamu Inginkan Adalah Kematian

dhani
4 min readSep 10, 2021

Trigger Warning.

Tulisan ini adalah catatan saya ketika menyintas dari usaha bunuh diri. Akan ada deskripsi tentang upaya menyakiti diri dan usaha mengakhiri hidup. Lanjutkan dengan persiapan mental.

Kemarin, seorang teman mengirim pesan:

“Mengapa orang ingin mati? Selama ini ia kulihat baik-baik saja dan tak ada tanda-tanda, tapi hari ini kulihat ia ingin mengakhiri hidupnya.”

Aku mengambil jeda lumayan lama. Ingatan membawaku setahun terakhir saat hidup berantakan, dihajar banyak hal sendirian, membuatku merasa mengakhiri hidup adalah pilihan paling mudah untuk menyelesaikan masalah. Tapi kemudian aku memutuskan untuk mencari bantuan.

Tahun lalu aku mencoba untuk mengiris tanganku, minum obat berlebihan, dan secara sadar tidak tidur berhari-hari. Kesehatan mentalku memburuk, aku berhalusinasi, membenturkan kepala ke tembok karena bising suara di kepala, hingga kemudian menyayat paha karena tak tahan merasakan perih di dada kiri. Aku ingin mati, tapi tak tahu caranya.

Kukira orang lupa, bahwa perkara kesehatan mental, ada banyak faktor yang berkelindan. Pekerjaan yang layak, relasi antar personal, trauma masa kecil, gaya hidup, makanan bergizi, olahraga, dan support system yang dimilii. Aku cukup beruntung dikelilingi oleh orang yang sayang padaku, sehingga saat mengalami relapse (kumat) mereka bisa membantu.

Pekerjaan yang layak membantumu mendapat penghasilan yang cukup, uang menjadi problem utama mengakses layanan kesehatan mental yang lumayan mahal jika tak dicover BPJS. Gaya hidup yang buruk, makanan tidak bergizi, dan kecanduan pada media sosial akan memperburuk itu. Maka aku pikir kita perlu cara lain untuk bisa tetap waras di saat segalanya terasa menyesakkan.

Hari ini adalah World Suicide Prevention Day (Hari Pencegahan Bunuh Diri sedunia). Setahun lalu aku membuat catatan bagaimana mencari bantuan dalah usaha paling berani dalam hidupku. Saat segalanya terlalu berat, saat segalanya terlalu menyiksa, dan kematian terasa lebih mudah, memilih hidup adalah tindakat nekat yang bisa kulakukan.

Aku berharap kamu tahu, ada beberapa cara untuk bisa bertahan hidup. Tapi sebelumnya, kamu harus cari bantuan profesional, psikolog, psikiater, dan siapapun yang bisa membantumu lebih baik. Hari ini aku membuat panduan, bagaimana cara hidup saat yang kamu inginkan adalah kematian. Panduan ini aku bikin mengadopsi caraku menghadapi overthinking dan anxiety.

Jika kamu merasa ingin mengakhiri hidup. Tulis lima hal yang membuatmu berat meninggalkan dunia. Tak perlu detil, tak perlu masuk akal, tak perlu jelas, kamu hanya perlu menulis. Lima hal yang menurutmu masih berharga dan membuatmu merasa bahwa hidup layak dijalani.

Bagiku lima hal yang membuat hidup layak dijalani adalah: Ibu, Buku, Musik, Game, dan Gerimis Pagi seusai bangun tidur.

Jika kamu telah menuliskan lima hal tadi. Jika kamu cukup punya tenaga, tuliskan perasaan yang kamu lekatkan pada hal-hal tadi. Apa yang kamu rasakan ketika kamu mendengar hal-hal itu? Kegembiraan? Ingatan? Peristiwa yang berharga? Ingat, apa yang kamu tulis saat sedih tak perlu masuk akal bagi orang lain. Ia hanya perlu memberimu kelegaan.

Setelah menjelaskan mengapa memilih kata itu dan apa yang kamu rasakan, kamu bisa jelaskan sejak kapan kamu lupa segala kegembiraan itu? Apa yang membuatmu berhenti gembira? Aku menemukan kembali cinta yang hilang. Cinta pada buku, cinta pada membaca, cinta pada menulis, hingga akhirnya bisa menulis 3 buku dalam setahun.

Aku kira saat sedih, kita kerap mengabaikan hal-hal yang semestinya membawa kegembiraan. Saat suicidal, aku mencoba menyusun percakapan dengan diri sendiri. Apakah mengakhiri hidup akan membuat segalanya jadi mudah? Seringkali jawaban yang kuterima adalah: Tidak.

Aku juga menyadari bahwa kadang kesedihan itu adalah sosok yang lain. Aku coba memberinya nama lantas memulai percakapan, kami adalah dua entitas yang hidup dalam tubuh yang sama. Kesedihan, kemarahan, nafsu, kegembiraan, bercampur dan menciptakan kecemasan. Saat kecemasan itu bertumpuk, pikiran negatif mendorongku untuk menghentikan segalanya.

Dengan menuliskan hal-hal menyedihkan, menyakitkan, dan membuatku demikian menderita, aku menemukan jalan keluar. Aku melihat diriku dari sudut yang berbeda. Menulis membuatku harus mempertimbangkan hal-hal yang sebelumnya tidak terbayangkan.

Jika aku mati, bagaimana aku tahu ending one piece? JIka aku mati, siapa yang akan merawat kucingku? Jika aku mati, siapa yang akan mendengar playlist bodoh yang kubikin di spotify? Alasan-alasan klise tadi mendorongku untuk berpikir. Apa sebenarnya sumber kesedihan yang kurasakan. Menulis sumber kesedihan itu memberiku kesempatan untuk mencari jalan keluarnya.

Saat kamu cemas, saat kamu takut, kematian tampak demikian baik. Ia mudah, ia gampang, dan ia bisa membebaskanmu. Tapi memilih untuk hidup, hidup butuh nyali, keuletan untuk tetap bernafas setiap hari, memutuskan bangun dari tidur dan pergi bekerja. Ia butuh kerja keras.

Menjalani hidup saat kamu ingin mati akan terasa menyakitkan. Segala hal membuatmu ingat bahwa hidup tak layak dijalani. Tapi jika kamu mau berhenti, mengambil jeda, menghitung nafas, menuliskan kebahagiaan-kebahagiaan yang kamu miliki, barangkali jika kamu cukup mujur dan dicintai, kamu akan menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup.

Aku tak ingin ibuku kehilangan anak lagi. Saat kakakku meninggal, dunianya runtuh, kebahagiaannya hilang, dan senyumnya dicuri. Setahun kemudian Ibu baru bisa pulih. Aku menderita, tapi aku tak ingin menambah deritanya. Barangkali itu alasan mengapa aku masih hidup hari ini. Temukan alasan apapun, sesepele apapun, asal ia membuatmu bertahan, maka bertahanlah.

Aku sadar solusiku berpusat pada menulis. Jika kamu tak bisa menulis, kamu bisa menggambarkan perasaanmu, kamu bisa memotret benda-benda yang menggambarkan perasaanmu, kamu bisa membuat lagu dari hal-hal yang meresahkanmu. Setiap jalan bertahan hidup saat kamu ingin mati adalah sah. Ia adalah hakmu.

Aku berharap kamu bisa menemukan alasan untuk hidup.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

Responses (12)