Siang ini jelang jam satu, setelah makan, Mei mengirimkan pesan pendek. “Standar esai ringan yang bagus menurutmu apa?” jelas aku tidak tahu.
Jika kamu belum kenal Mei, dia adalah temanku, tinggal di Jakarta, pintar belaka. Dua kali aku ditraktir makan dan setelah berkawan bertahun-tahun, aku baru sadar jika ia memiliki bakat ajaib. Mudah terharu.
Orang barangkali akan berdebat, atau kesal, bagaimana mungkin mudah terharu itu adalah bakat? Oh itu bakat sulit. Orang mudah menjadi garong, pembohong dan penipu, tapi terharu pada hal-hal sepele membutuhkan kualitas luhur. Orang itu mesti peduli, bukankah jelas belaka jika akhir-akhir ini, setelah pandemi, manusia lebih susah peduli daripada mati?
Kawanku ini bertanya tentang tulisan karena ingin membaca. Dia sudah selesai membaca tulisanku di Medium dan bilang tak ada tulisan baru lagi yang bisa dibaca. Mei bukan orang pertama yang mengeluh, ada beberapa orang lain yang meminta aku menulis lagi secara rutin, tapi hidup kerap merepotkan. Saat ini aku lebih suka tidur daripada menulis, entah besok.
Menulis itu bagiku jadi usaha untuk melancarkan pikiran. Jika pikiranku lancar, seringnya, tak ada tulisan yang bagus untuk ditulis. Tapi jika teramat banyak yang dipikirkan, tulisan juga tak muncul. Akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa selama ini bukan masalah pikiran yang membuatku jarang menulis, tapi karena malas.
Aku belajar untuk menulis bukan buat dinilai bagus atau tidak, tapi apakah tulisanku selesai atau tidak. Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai ditulis, setelahnya, jika mau diedit, diperbaiki, atau dibagikan itu perkara lain. Kukira sebagai penulis banyak dari kita dicemaskan hal-hal yang tak perlu seperti: bagus atau tidak.
Saat kita disibukkan dengan pertanyaan apakah tulisan yang dibuat bagus atau tidak, di luar sana di bawah kolong langit ada manusia yang dengan percaya diri menulis buku Hitler Mati Di Garut dan Nabi Sulaiman Membangun Candi Borobudur. Jika itu kurang memukau ada manusia yang dilahirkan dan dengan segala pengetahuan yang ia punya, menulis buku Napoleon Bonaparte ternyata Seorang Muslim!
Aku pikir ada beberapa jenis penulis yang memiliki hutang maaf. Bukan hanya kepada manusia, tapi juga beberapa batang pohon yang ditebang untuk diolah menjadi kertas dan dibuat bahan bukunya. Manusia jenis ini, tidak hanya memiliki kepercayaan diri bahwa apa yang ia tulis bagus, tapi ada editor-editor dan penerbit-penerbit yang dengan kegemilangan menafsir bahwa karya yang si penulis bikin, memiliki nilai mutu baik.
Ini mengapa, untuk Mei, yang sudah lulus sarjana sastra Jawa dari universitas terbaik di Indonesia, jangan takut untuk menulis. Tulis saja apa yang membikin hatimu senang. Tulis saja apa yang membikin kamu gembira. Lagipula perkara bagus atau tidak, itu soal selera. Tak perlu diperdebatkan dan tak mudah dijelaskan.
Kalau kamu berpikir bahwa tulisanmu buruk, cobalah tulis dulu, lalu dengan kegentingan yang teramat sangat, coba kamu temui seorang pandai kata. Bertanyalah kau padanya, apakah tulisan yang sudah kau susun (dengan akal dan pengetahuan yang cukup tentunya), memiliki nilai guna atau tidak, dan jika cukup mujur yakinkan dirimu untuk bertana lagi, apakah tulisan itu layak disebut bagus?
Jika seorang pandai kata tadi mengatakan tulisanmu buruk, maka coba kau tanyakan, apa yang buruk? Bagaimana mengolah yang buruk tadi jadi baik? Apa yang harus diperbaiki agar kelak tak mengulangi keburukan yang sama? Tanyalah hingga segala yang membuatmu cemas habis. Jika ia bijak, dan memang betul pandai, dengan waskita orang itu akan membantumu.
Tapi, jika si pandai kata mengatakan jelek hanya karena ia benci padamu, ambilah satu botol aqua yang sudah dibekukan, lalu kau hantamkan ke bagian belakang tempurung kepalanya. Di tanah ini, kita sudah sering kali bertemu dengan berbagai macam jenis bandit dan pesakitan yang menyamar jadi orang pandai. Mereka tak bisa disembuhkan kecuali dengan hantaman benda tumpul.
Biar kata aku menyarankan hal ini, kamu tak akan tega melakukan. Atau kamu takut. Tenang saja, Mei, takut itu hal wajar. Dalam sejarah peradaban homo sapiens, para penakut relatif berumur panjang. Kamu kira di waktu-waktu awal perang dunia kedua, ketika pendaratan Normandy, para serdadu Amerika yang datang itu adalah pengecut? Tidak, mereka adalah anak muda pemberani yang nyawanya habis ditabrak pelor fasis.
Sampai di mana tadi? Oh iya, menulis. Menulislah apa yang kamu suka. Tidak harus panjang. Manusia-manusia debil di internet malas membaca panjang. Kerap dari kumpulan beruk dengan isi tempurung kepala kosong ini, hanya gemar membaca judul, memberi komentar, lalu membusungkan dada seolah paling mengerti. Jadi tulislah hal yang pendek, yang kamu tahu, dan yang penting membawa kegembiraan.
Nah jika kamu pikir aku akan mengajarimu menulis, kamu salah. Ada terlalu banyak pekerjaan baik di dunia ini yang aku hindari, mengajarimu menulis adalah salah satunya. Kamu harus menulis dulu, jika selesai baca ulang, baca dengan suara, di depan pintu kamar atau sembari jongkok di kamar mandi. Hapus kata yang tak elok didengar, buang kata yang membuatmu gagap.
Menulis tentu bukan perkara mudah, tapi tidak menulis karena takut, adalah kekonyolan yang maha aduh. Itu saja, aku mau pergi lagi, karena harus bekerja.