Aku tak lagi makan ayam goreng sejak perpisahan kami malam itu. Yang kuingat hanya tulang, sisa timun yang digigit separuh, juga sambal yang tidak pedas-pedas amat. Ibuku bilang seluruh masalah dunia akan selesai jika kamu bisa membuat sambal yang enak, hidup sudah brengsek, maka jangan biarkan makananmu terasa seperti rendaman batu.
Ia pergi dan mungkin tak akan kembali lagi. Aku tahu itu. Perempuan dengan poni hitam dan alis paling indah di bawah semesta. Kepadaku suatu saat, perempuan itu pernah berkata bahwa ia tak sudi memiliki poni yang lebih panjang dari alis, itu mengapa setiap kamis pada minggu kedua bulan baru, ia pergi ke salon untuk memotong rambut-rambut yang terus tumbuh tanpa peduli mereka akan dipotong lagi dan lagi.
Sore sebelum kami bertemu perasaanku sudah tidak enak. Kamu tahu? Perasaan-perasaan yang kerap muncul saat kamu ada di tepi jurang, atau saat memegang pisau tajam. Di kepalamu ada bisikan-bisikan pendek seperti “Loncatlah,” atau “Tikam matamu sendiri,” seperti itu.
Aku mengabaikan perasaan itu. Toh kami juga sudah biasa begini. Mengirimkan pesan, bersama, intim, lalu berhari-hari hilang tanpa kabar. Aku terbiasa menunggu dan kadang ia serupa Godot, hilang dan tak pernah ada kabar. “Aku beli Lohan dulu, bapak titip suruh ambil ikan di pasar,” itu pesan terakhirnya. Tiga hari yang lalu.
Sore itu aku duduk sendiri di kamar kos, diganggu nyamuk-nyamuk yang mendengung sementara burung bapak kos berkicau seperti mengumpat nasibnya dalam penjara. Aku suka bunyi burung-burung itu, setidaknya mereka hidup. Kosan tempatku tinggal dikelilingi oleh kuburan. Satu kuburan milik desa, dua yang lain adalah milik keluarga dari kota sebelah. Dulu tiap keluarga punya kuburan pribadi, mungkin mereka enggan berbagi liang lahat dengan orang biasa.
Perempuan itu selalu suka duduk di teras kamarku jelang petang. Ia bilang nisan-nisan dari kuburan itu berbaris seperti hendak pulang. “Bahkan setelah mati, mereka masih bisa rapi berjajar,” katanya.
“Seperti pindang?” jawabku.
“Kok seperti pindang sih,”
Ponselku bergetar. Aku tak segera membuka pesan. Aku masih tak menyangka setahun bekerja, aku bisa juga membeli ponsel ini. 14 kali lebih mahal dari UMR kota ini. Kota keparat yang tak juga membuat pekerjanya sejahtera. Tapi tak apa, akhirnya ponsel ini aku miliki. Aku bertekad belajar joget di depan tiktok sembari mempermalukan leluhurku, pemberontak Majapahit. Siapa tahu jadi seleb dan kiranya membawa keberuntungan juga.
“Aku mau bicara. Kita bisa ketemu?”
Pesannya singkat, seperti biasa. Setahun bersama aku sudah tahu apa artinya. Beberapa kawan menyebut kami seperti pasangan kekasih. Padahal bukan. Ia punya pacar, jauh di Taiwan sana. Seorang TKI yang bekerja di bidang pemrograman. Aku belum punya pacar, kesepian, kerap kali menghabiskan waktu hanya sendiri. Ia hadir tiba-tiba, seperti polisi yang nongol di tepi cegatan. Kami bertemu, dekat, lantas bersama. Tapi tidak pacaran.
Kami dekat. Tapi bukan dekat yang kau pikirkan. Mungkin seperti borok dan nanah, lalat dan sampah, atau pasir dan hujan. Kadang kami dekat, kadang kami tidak punya kesamaan sama sekali. Teman-teman selalu mengingatkan untuk menjaga hati. Aku tidak tahu apa maksudnya. Apakah aku harus bersetia pada ajaran agama dan menolak jatuh cinta, atau menjaga diri untuk tidak menubruknya ketika kami hanya berdua saja?
Aku membalas pesan itu dan kami berjanji untuk bertemu di sebuah warung ayam goreng di depan kantor polisi. Aku selalu penasaran dengan warung itu. Orang bilang pemiliknya punya pesugihan. Memelihara wewegombel dan liurnya digunakan untuk merendam ayam-ayam kampung kurus untuk digoreng dan jadi lebih kurus lagi.
Kalau kamu datang saat jam makan siang, warung itu penuh dengan PNS, lepas maghrib, warung itu penuh dengan keluarga-keluarga tionghoa yang membawa anak-anaknya. Di dinding warung itu ada foto Syeh Abdul Qadir Jaelani dengan berbagai foto-foto artis yang kini mungkin sudah tak laku lagi.
Perempuan itu bilang, warung yang enak biasanya dipenuhi oleh dua jenis orang. Jenis pertama adalah PNS dan yang lain adalah Orang Tionghoa. Jika sebuah warung dipenuhi polisi, bisa jadi karena itu sarang intel dan orang akan malas untuk datang ke sana. Meski tepat di depan kantor polisi, jarang sekali polisi makan di sana. Konon karena pemilik warungnya menolak menerima kasbon.
Sesaat setelah aku mematikan motor, ia datang dan memarkir motornya di sebelahku. Kami masuk ke dalam warung itu. Hari ini senin malam, orang sudah selesai makan malam, dan hanya kami berdua yang makan di sana saat itu. “Dua ayam goreng, yang satu sambalnya tidak pedas. Minta tambah timun ya mas,” kataku.
“Ayamnya satu saja, aku tidak makan,” katanya. Lantas duduk di depanku. Kami diam, di depan warung, pelayan memutar musik kencang. Lagu dangdut koplo. Sad koplo. Menurutku lagu-lagu kehilangan, cinta yang kandas, perasaan yang tak berbalas dan dinyanyikan dalam bentuk dangdut koplo ini adalah jenis emo yang baru. Seperti midwest emo, tapi di pantura dan dinyanyikan sambil joget.
“Jepang hancur karena bom, warung hancur karena bon, hubungan hancur karena condition,” kataku melihat larangan berhutang di warung itu. Perempuan itu tidak tertawa. Ia diam dan sesekali melihat ponselnya. Mungkin ia lelah, mungkin bosan, tapi yang jelas ia ingin menyampaikan hal yang tak kusuka.
“Aku menemukan orang lain. Seseorang yang kusuka. Dan ia bukan kamu,” katanya bergetar.
“Oh selamat,” kataku.
“Itu saja?” jawabnya.
“Oh semoga berbahagia,” kataku.
Ada bara di matanya. Seperti seorang bromocorah yang kedapatan melihat pembunuh istrinya. “Kenapa kamu dingin sekali?” katanya menuntut. Oh ini baru. Kupikir ia hanya peduli pada dirinya sendiri. Ternyata ia peduli terhadap pendapatku.
“Aku tidak dingin, hangat malah, sambalnya enak,”
“Kamu tahu apa maksudku,”
“Sejujurnya tidak,”
“Kenapa kamu diam saja? Kamu tahu aku memilih dia. Beberapa kali kami jalan dan kamu ngga pernah marah,” ia menuntut.
Suaranya meninggi. Seperti kepala sekolah yang menangkap dua murid paling bandel merokok di kantin. Aku ingat ketika dulu bapak dipanggil karena aku merokok. Kepala sekolahku saat itu, Pak Raden Mas (aku lupa nama aslinya), menghardik bapak sebagai orang yang tak bisa mendidik anak. Ayahku hanya diam dan menerima segala caci makinya. Belakangan aku dengar bapak membakar sawah milik kepala sekolah jelang panen sebagai balas dendam.
“Itu hidupmu, aku tak berhak ikut campur. Kalau kamu bahagia sama dia, kenapa aku harus repot membuat hubungan kalian rumit?” kataku.
Ia menangis. Pelayan-pelayan di warung menghentikan pekerjaan mereka. Melihat kami. Seorang pelayan laki-laki berbisik, lantas menambah kencang suara lagu dangdut di warung itu. Mungkin dia tak ingin kami ribut di sini, mengusir pelan-pelan dengan membuat bising warung itu. Tapi gagal, kami masih di warung itu.
“Aku ngga tahu harus apa. Kupikir, kalau kita terus bersama. Kamu akan menderita. Aku ngga mau kamu menderita,” katanya. “Aku ngga tahu cara bikin kamu bahagia. Aku takut kamu tidak bahagia,” katanya.
“Mungkin itu masalahnya. Kamu pikir. Kamu ngga pernah bertanya. Apakah aku bahagia bersamamu atau tidak. Setahun terakhir aku ada bersamamu. Kamu datang, hilang, pergi dan aku tak pernah memaksamu tinggal,” kataku.
Ia kaget. Matanya membelalak. Aku yakin dua pelayan di depan warung mendengar apa yang kusampaikan. “Kamu selalu berpikir, tapi tak pernah bertanya. Kamu selalu merasa bahwa pikiranmu yang paling benar. Dan mungkin memang itu yang kamu mau. Kamu takut perasaanmu benar. Itu mengapa kamu mengusir dan pergi dari orang-orang yang sayang padamu. Karena kamu tahu, kamu ngga layak dicintai,” kataku.
Buset. Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa kusadari. Mungkin ini yang namanya ledak amarah. Kamu tahu? Seperti berak yang ditahan, seperti bersin yang muncrat. Hal-hal yang tak ingin kusampaikan malah keluar. Perempuan itu mengusap air matanya. Lalu berdiri. Sebelum pergi ia menyerahkan sebuah kaset. “Ini buat kamu. Lagu-lagu yang kubikin dari cerita kita,” katanya.
Sembari mengusap air mata Ia coba tegar menghadapi tukang parkir. Lantas kesusahan menghidupkan motor miliknya. Aku masih duduk di warung ayam goreng itu. Dua pelayan di depan penggorengan juga tak lagi melihatku. Mereka sibuk melayani pembeli baru yang datang. Aku menegak teh yang tak lagi panas. Mungkin ini perpisahan yang sebenarnya. Ditinggalkan sendirian untuk membayar makanan yang tak kau sukai rasanya.
Kaset itu tak pernah kuputar.