Anak Lelaki yang “Seperti Bunga”: “Langit Meledak” dan Arkan Daif, 14, Tewas

dhani
7 min readApr 15, 2024
Four Sketches of Arab Men by Eugène Delacroix

30 Maret, 2003

Oleh : Anthony Shadid diterjemahkan dari The Washington Post

Di sebuah lempengan batu dingin seorang lebai masjid sedang memandikan sesosok tubuh untuk terakhir kalinya. Tubuh milik Arkan Daif yang berusia 14 tahun.

Berbekal bulatan kapas basah, tangan sang lebai membersihkan jenazah sewarna zaitun yang telah meninggal tiga jam lalu namun masih memancarkan kehidupan. Dengan ketenangan terlatih, ia tutul-tutulkan kapas menghapus merahnya darah dari luka pecahan meriam di lengan dan kaki kanan Daif yang kulitnya masih halus. Ia gosok pelan wajah Daif untuk menghilangkan noda darah yang berasal dari rongga menganga dibelakang tengkorak si bocah.

Para pria dari masjid Imam Ali berdiri menunggu dengan wajah muram, menanti diawalinya prosesi pemakaman seorang bocah lelaki yang dipanggil ayahnya dengan julukan “Serupa Bunga”. Haidir Kathim, pengurus masjid, bertanya. “Apa salah Daif? Apa salah anak-anak ini?”

Saat prosesi pemakaman berlangsung, pelayat dan keluarga Daif berusaha keras menghindari pertanyaan tentang rasa takut dan ketidakpastian yang mungkin muncul di benak masing-masing orang, namun mereka gagal.

Selain beberapa tetangga, keluarga dan pelayat yang hadir, tidak ada orang lain yang menyaksikan pemakaman itu. Pemakaman yang berlangsung tanpa mendapat perhatian dari pemerintah, yang saat itu sedang bersemangat untuk mengantarkan para jurnalis untuk meliput tragedi peperangan lainnya. Sebaliknya, Daif dan dua sepupunya malah dikubur dalam kesunyian di tanah perkampungan kumuh muslim syiah di batas kota.

Anak-anak tersebut terbunuh pada pukul 11 siang hari ini, saat beberapa kerabat mereka mengingat terjadi saat “langit seolah meledak”. Daif sebenarnya telah menggali parit perlindungan di depan gubuk keluarga mereka, yang diharapkan bisa digunakan sebagai tempat perlindungan, selama masa bombardir yang berlangsung sepanjang siang dan malam. Daif mengerjakannya bersama Sabah Hassan 16 tahun dan Jalal Talib 14 tahun. Namun pecahan dari peluru meriam panas berwarna putih itu telah menumbangkan mereka bertiga. Sementara tujuh anak laki-laki lainnya terluka.

Ledakan tersebut tak berbekas, penduduk Rahmaniya sendiri berusaha untuk menunjukan dengan tepat sumber dari ledakan yang menyebabkan kerusakan tersebut. Banyak dari mereka bersikeras berkata telah melihat sebuah pesawat udara. Beberapa yang lainnya meyakini bahwa meriam anti pesawat milik pasukan Irak telah memicu ledakan rudal penjelajah di udara. Sisanya meyakini bahwa selongsong peluru dari meriam anti pesawat telah jatuh kembali merusak rumah mereka.

Siapapun yang menyebabkan ledakan itu, para penduduk meyakini ini salah Amerika, dan bersikeras kalau saja tak ada perang, mereka akan tetap aman. “Siapa lagi yang harus bertanggung jawab kecuali orang Amerika?” ujar Mohsin Hattab, paman Daif yang berusia 32 tahun.

“Perang ini adalah Iblis, perang yang seharusnya tak terjadi” kata Imad Hussein, seorang supir dan paman dari Hassan. “Mereka tak berhak untuk memerangi kami, sebelum ini terjadi, kami duduk di rumah kami, nyaman dan aman.”

Saat ia berbicara, ratapan dari para pelayat yang berkabung berhamburan keluar dari dalam rumah dan menenggelamkan kata-katanya. Ia mengernyit, kepalanya menoleh ke samping. Lalu melanjutkan “Tuhan akan menyelamatkan kami” katanya perlahan.

Di dalam masjid, beberapa jam setelah ledakan, Kadhim dan lebai masjid lainnya mempersiapkan jenazah Daif untuk dimakamkan sebelum matahari tenggelam, sebagaimana kebiasaan dalam Islam.

Daif dimandikan dalam ruang berlantai warna pirus lembut, ruangan tersebut memberi ketenangan, saat lebai masjid menyelesaikan prosesi pemandian jenazah. Mereka kemudian membungkus kepalanya, mengatupkan kelopak mata Daif, dengan plastik warna merah dan kuning. Mereka menggulung jenazah itu dengan terpal plastik, mengikatkannya dengan empat potong kain kasa putih. Satu di setiap ujung tubuh, satu buah di lutut dan satu lagi di sekitar dadanya.

Kadhim bekerja dengan tenang, gerak tubuhnya adalah sebuah usaha untuk memberikan penghormatan kepada sang jenazah. Ia memutar tubuh Daif ke samping dan membungkusnya dengan kain kafan, dan diperkuat dengan 4 buah kain kasa putih lainnya. Para pelayat menggumamkan doa, memecahkan sesak kesunyian yang turun. Lalu mereka memindahkan jenazah itu dari atas lempengan batu dingin ke dalam peti mati kayu.

“Hal ini sangat sulit” ujar Kadhim, saat para pelayat menutup peti mati tersebut.

Pada hari Jum’at, Ia pergi ke masjid lain, Masjid Imam Moussa Kadhim, untuk membantu pemakaman lusinan orang yang terbunuh dalam ledakan yang terjadi pada sebuah pasar padat di dekat perkampungan Shuala. Kenangan itu menghantuinya. Ia mengingat beberapa potongan kepala dan tangan yang terlontar sampai pada masjid Syiah. Ia mengingat beberapa tubuh, bahkan seorang bayi, dengan lubang menganga.

“Hal itu mengerikan dan seram,” katanya. “ini pertama kali dalam hidupku melihat hal semacam itu.”

Pada sebuah lapangan terbuka, pelayat menurunkan peti mati ke lantai batu di sebuah masjid yang masih dalam perbaikan. Dalam dua deret, mereka berbaris dibelakangnya, melepas sepatu masing-masing. Bibir mereka bergumam dalam doa yang telah mereka panjatkan ribuan kali.

Allahuakbar” mereka mengulang-ulang, telapak tangan mereka menengadah dalam sebuah permohonan.

Dibelakang, beberapa orang membahas perang. Dalam kondisi represi dan isolasi yang terjadi di Iraq, rumor telah beralih fungsi menjadi berita, dan pembicaraan hari ini adalah pembantaian yang dilakukan oleh sebuah konvoi pada tubuh nenek tua berumur 80 tahun yang dikuburkan di selatan kota Najaf, tempat dimana pasukan Amerika berkonfrontasi dengan tentara liar dan pasukan Iraq.

Bagi kaum muslim Syiah, Najaf adalah salah satu kota suci mereka, rumah dari makam Ali, menantu Nabi Muhammad, yang diyakini oleh kaum Syiah sebagai penerus sejati Nabi. Konon saat Ali sekarat ia meminta para pengikutnya untuk menaruh tubuhnya di atas seekor unta dan menguburkannya dimana pun onta tersebut pertama berhenti, dan Najaf adalah tempat itu. Jutaan peziarah mengunjungi tempat itu tiap tahun, dan para kaum Siyah yang salih berusaha sepanjang hidupnya untuk mendapat kehormatan dikubur di pemakaman luas di dekat kota itu.

Nenek tua dari Rahmaniya itu tidak pernah kesampaian kesana. Penduduk mengatakan pasukan Amerika menyerang tiga mobil, salah satunya membawa tubuh nenek itu. Hal ini merupakan salah satu bentuk penistaan kota tersebut, para pelayat itu membenarkan. Mereka bersikeras orang-orang kafir tidak mungkin masuk ke dalam kota jika bukan dengan kekuatan bersenjata. Tindakan Pasukan Amerika yang mengepung kota — diperberat dengan rumor yang kerap muncul — merupakan tindakan penghinaan.

“hal itu sangat merupakan Aib” ujar Hattab, paman Daif.

Hussein, kerabat yang lain menyampaikan pendapat kebanyakan orang disana. “Mereka datang bukan untuk membebaskan Irak” katanya. “Mereka datang untuk mengambil alih Irak!”

Dalam kata-katanya terungkap rasa takut yang menyergap hati para penduduk Irak. Banyak yang khawatir invasi Amerika akan mengancam kebudayaan dan tradisi mereka. Mereka membayangkan bila terjadi pendudukan akan terjadi penghapusan terhadap apa yang telah mereka yakini, menjejali sebuah kebudayaan asing dengan paksa ke dalam masyarakat, yang dalam banyak hal, telah mereka yakini merupakan hal yang sangat pribadi dan tertutup.

“Kami tidak menginginkan orang Amerika atau orang Inggris disini. Makanan kami lebih baik daripada makanan mereka, air kami lebih baik daripada air mereka” katanya.

Dengan berakhirnya Sholat Jenazah, para pelayat mengangkat peti mati Daif diantara kepala mereka. Keluar melewati dari masjid berwarna abu-abu tersebut, diantara gerbang besi dan berjalan dalam kesunyian, debu jalanan bertebangan di atas sampah. Beberapa tak mengenakan alas kaki dan lainnya menggunakan sandal.

La Ilaha Illallah” salah seorang berkumandang. “La Ilaha Illallah,” pengusung jenazah lainnya menjawab. Meramaikan ufuk langit dengan suara yang ada. Para pelayat menyebrangi jalan, melewati beton dan pondok bata, sementara bendera kaum syiah warna hitam pekat, hijau, merah dan putih berkibaran diatas kepala.

Saat mereka mendekati rumah Daif, yang pintunya dihiasi oleh nama Muhammad dan Ali, mereka disambut oleh ratapan dari perempuan yang bercadar hitam. Mereka berteriak, melambaikan tangan dan menggerakkan kepala mereka. Tenggelam dalam tangis, saat petimati tersebut perlahan lenyap dibalik pintu. Keputusasaan mengalir keluar rumah itu, dimana jendelanya telah hancur dalam ledakan yang menewaskan Daif.

“Anakku! Anakku!” ibunya Zeineb Hussein meratap. “dimana kamu sekarang? Aku ingin melihat wajahmu!”

Para pelayat dari keluarga Daif saling berangkulan, saling menangis sesenggukan di bahu mereka. Yang lainnya menangis dibalik tangan. Dari dalam rumah terdengar suara para perempuan memukuli dada mereka dalam duka.

Pada rumah-rumah di sepanjang jalan, para tetangga dan kerabat berbicara tentang ketidakadilan — gema yang bergaung dalam kehidupan kaum Muslim Syiah dimana berabad-abad ajaran agamanya berkelindan dengan berbagai contoh penderitaan dan pengorbanan orang kudus.

“Kami ini miskin. Kami tak bisa pergi ke tempat lain. Apa salah dari keluarga-keluarga disini? Dimana kemanusiaan itu?” Tanya Abu Hammed, tetangga berumur 53 tahun yang duduk didalam rumah dengan tiga gambar Ali dan anaknya Hussein. “Saya bersumpah pada Tuhan, kami ini ketakutan.”

Pembicaraan mereka penuh amarah, dan mereka bingung.

Jika orang Amerika berjuang demi pembebasan, mengapa orang tak bersalah harus menderita? Jika mereka ingin menyerang pemerintah, mengapa penduduk sipil yang dijatuhi bom? Bagaimana bisa mereka pemilik teknologi canggih membuat kesalahan sedemikian tragis semacam ini?

Irak semasa pendudukan Sadam Husein, dengan 30 tahun kebudayaan politik yang dibangun dalam kebrutalan, sebagian penduduk Irak meyakini bahwa Amerika sedang berusaha menuntut balas atas kekalahan mereka dengan mengirim pasukannya ke Basra dan kota-kota lain di Selatan Irak. Sebagian lagi, dengan kejujuran yang mengejutkan, membela Amerika dan Inggris untuk melawan pemerintahan mereka, tetapi mengampuni penduduknya.

“Jika mereka hendak membebaskan rakyat, mereka boleh mengusir pemerintah, bukan membunuh penduduk tak bersalah” salah satu kerabat berkata. “Penduduk tidak memiliki urusan dengan pemerintah. Kami hanya tinggal di rumah kami.”

Sebelum petang. Petimati Daif telah dibawa dari rumahnya. Jenazah itu diletakan di belakang mobil terbuka berwarna putih dan menuju ke pemakaman. Saat mobil itu berjalan, menghamburkan sekumpulan awan debu, beberapa kerabat dan tetangga berteriak “Semoga Tuhan bersamamu.” Lelaki yang lain melambaikan tangan, dengan gerak tubuh yang sangat biasa saja yang menggambarkan kekuatan dari iman mereka, dimana mereka yakin toh pada akhirnya akan bersatu kembali dengan Daif.

Hattab, sang paman, memandang keberangkatan peti mati tersebut. Matanya merah dan wajahnya sendu.

“Ia telah kembali pada Allah,” katanya. “Ini adalah kehendak Allah.”

--

--

dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?