Ramadhan adalah harapan bagi para pendosa. Tapi bagi saya, ramadhan adalah saat dimana saya bisa asyik membaca dengan waktu yang terbentang luas tanpa diganggu. Orang-orang yang sebelumnya penuh energi dan kapan saja bisa mengajak pergi, mendadak malas dan lebih suka tiduran daripada keluar rumah di tengah terik. Momen seperti ini adalah saat yang menyenangkan bagi saya. Ditemani sepi membaca bisa jadi sangat menyenangkan.
Ramadhan juga selalu hadir untuk mengisi garasi wacana tentang agama. Well, paham agama tidak berarti harus relijius. Beragama juga tak mesti paham benar tentang kemaslahatan umat. Buat saya belajar agama tidak linier dengan menjadi fanatik lalu fasis. Terkadang membaca kitab bisa membuat kita menjadi 100% taat atau sebaliknya 100% murtad. Itulah mengapa dalam islam, meminjam istilah Bapak saya, perlu pemahaman dan diskusi yang ketat antara apa yang ada dalam kitab dan yang tersirat di sekitarnya.
Realitas agama selalu sejalan dengan zaman yang hadir saat itu. Ia tak berhenti pada satu waktu saja, mesti demikian tafsir adalah perkara perspektif. Ingat bagaimana sebelum Muhammad berkuasa atas Mekah, perbudakan adalah niscaya. Lantas setelah islam berjaya perbudakan dan pernikahan siri di hapuskan. Ini bukti bahwa agama boleh jadi tetap, namun tafsir selalu saja dinamis.
Hamzah Fansuri, penyair sufistik yang berasal dari Barus, pernah menuliskan sajak masyur dalam Syair Perahu. Dimana ia membuat metafora ilmu dan iman sebagai kemudi. Ia berkata “Wujud Allah nama perahunya, ilmu Allah akan [dayungnya], iman Allah nama kemudinya, “yakin akan Allah” nama pawangnya.” Ia bicara tak semata-mata ilmu adalah tentang membaca Qur’an. Tapi juga pengetahuan lain yang bisa menjadi ‘dayung’.
Untuk itu sementara Ramadhan baru berjalan beberapa hari saya hendak menuliskan beberapa buku yang sebaiknya dibaca selama puasa. Tentu tak melulu tentang agama islam. Juga ada beberapa buku lain yang menarik untuk dibaca dan diresapi nilainya. Silahkan menikmati.
5. Idiologi Kaum Intelektual (Suatu Wawasan Islam) — Ali Syariati
Buku ini adalah apa yang saya sebut sebagai “Buku yang habis dibaca dalam setarikan nafas namun membebaskan.” Buku ini tebalnya tak lebih dari 185 halaman memiliki pengantar memukau dari Jalaludin Rakhmat, seorang intelektual muslim syi’ah Indonesia. Kalimat dalam buku ini begitu melekat di kepala saya selepas membaca fragmen “Tiap hari adalah Asyura dan tiap tempat adalah Karbala.” Jalaludin Rakhmat saya kira sedang bercerita tentang sejarah panjang kekerasan dalam syiah.
Buki ini baik dibaca bagi mereka yang hendak mempertanyakan arti penting seorang pemikir dalam agama islam. Terlepas buku ini disusun oleh intelektual syiah, sunni maupun ahmadi saya kira perlu membaca buku ini. Saya sendiri baru selesai membaca sekitar empat bulan lalu dan kini sedang saya baca ulang. Di dalamnya saya temukan lagi risalah-risalah mutakhir yang menempatkan Ali Syariati sebagai seorang teknokrat yang membebaskan. Ia bicara perihal pentingnya ilmu pengetahuan bagi pengembangan agama.
Anda mungkin hanya sedikit menemukan fragmen-fragmen Al Quran di dalamnya, namun akan banyak sekali menemukan jejak-jejak pemikiran dan sejarah dari masa lampau. Hal ini saya kira sangat baik dibaca untuk menambah wacana tentang bagaiman ilmu ditempatkan. Ia (ilmu pengetahuan) tak bersifat sekuler, tapi menyublim dalam ritus-ritus agama kita. Tapi juga menjadi sebuah pisau dan kendali bahwa hidup tak melulu tentang membaca, tapi juga mengalami realitas dengan segala pahit getirnya.
4. Hidup Itu Indah — Aji Prasetyo
Saya membayangkan jika Nabi masih hidup dan membaca komik Aji ia akan menghadapi dilema. Bahwa ia mesti tertawa melihat ironi yang tergambar, atau menangis melihat kondisi umatnya kini. Mau tidak mau saya juga teringat pada salah satu fragmen cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Pandji Kusmin. Apakah seorang petani miskin yang memampang bendera palu arit lebih baik daripada seorang kyai yang terpukau uang segepok dalam kitab?
Mas Aji saya kira bisa melahirkan komik sebagai sebuah opini yang merdeka. Ia mungkin salah satu dari sedikit orang yang bisa membebaskan komik dari kungkungan stigma ‘hanya dibaca oleh anak-anak’. Buku ini dengan cerdas menguliti secara rapi, bagaimana wajah fanatisme beragama (baca : islam) di Indonesia disalahgunakan. Tentang bagaimana ego pribadi telah mengkooptasi sebuah institusi relijius sebagai sebuah kendaraan politis.
Entah mengapa beberapa minggu setelah komik ini diluncurkan langsung raib di toko-toko buku. Kalaupun ada dengan harga yang lumayan mahal. Bagi beberapa orang di negeri ini, saya kira agama adalah perihal ketetapan. Sesuatu yang saklek dan tak pantas dikritisi. Sayangnya mereka tak paham bahwa tindakannya itu membenarkan apa yang dikritik oleh Aji. Fanatisme buta tanpa pemahaman yang utuh bahwa agama seyogyanya adalah perihal menjadi lebih baik bagi orang lain.
3. Jihad Melawan Islam Ekstrem — Al Ashmawy
Mohammad Said Al Ashmawy membuka esai panjang mengenai fanatisme dengan mengutip salah satu ayat dalam The Egyptian Book of Dead. “Aku adalah masa lalu, Aku mengetahui hari esok; Aku bisa menjadi muda, Aku adalah osiris; Aku datang untuk memerangi kegelapan.” Sebuah tindakan berani dari seorang mantan ketua pengadilan tinggi Kairo Mesir. Negeri yang selama kekuasaan Hosni Mubarak, dikenal memiliki barisan ulama sangat brutal dalam menangani perbedaan keagamaan.
Dalam buku ini kita bisa melihat argumentasi dan narasi jernih dari salah seorang pejuang keberagaman asal Mesir ini. Meski lahir dalam keluarga yang kental dengan tradisi Wahabiah namun Al Ashmawy membuktikan dirinya sebagai seorang pemikir yang ulung. Ia dengan ajeg menyusun pembelaan dengan menyertakan banyak pemikiran yang tak melulu berakar dari sumber Islam. Namun juga dari Kristen dan juga Judaisme.
Baginya kebenaran tunggal bukanlah sesuatu yang didapat dari satu sudut pandang saja. Ia lahir dari berbagai visi yang menyentuh satu substansi kemanusiaan bernama pemahaman toleransi. Yang paling menarik kemudian adalah bagaimana sikap Al Ashmawy yang getol menolak negara Islam. Baginya agama tak boleh dekat dengan politik. “Karena saat agama bergabung dengan politik, ia menjadi idiologi dan tak lagi murni sebagai agama.”
2. Hanya Islam Bukan Wahabi — Nashir bin Abdul Karim Al-Aql
Saya kira Muhammad Ibn Abdul Wahab adalah orang yang selama ini menjadi korban dari sebuah nama. Ia adalah seorang pemimpin dan ulama dari sebuah suku badui kecil di Jazirah arab. Abdul Wahab merupakan salah satu dari sedikit sekali kaum badui yang terdidik secara literer, dalam arti bisa membaca dan menuliskan. Lebih khusus lagi ia adalah sedikit dari sekian banyak masyarakat suku badui yang bisa menyusun pemikirannya menjadi sebuah ajaran.
Dengan bahasa yang santun Abdul Wahab pernah menuliskan “Aqidah saya adalah sama dengan aqidah kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah,” katanya. Ia ingin menjawab sebuah tuduhan bahwa ada seorang badui yang hendak membikin mazhab baru diluar empat mazhab yang ada. Saat dimana pengaruh mazhab bisa menentukan sebuah legalitas kepemimpinan. Dengan terbata ia menekankan dalam Ad-Durrar As Sunniyah “Saya adalah pengikut mereka sampai hari kiamat nanti”.
Buku ini meski ditulis dengan sangat membosankan dan hiperbolis (karena banyaknya pujian bagi Abdul Wahab), merupakan pengantar yang baik untuk mengenal siapa sebenarnya dibalik sebuah paham Wahabi. Bagi saya konten dalam buku ini lumayan adil dalam menempatkan sosok ulama yang namanya kerap dianggap sebagai penyebab teror di dunia. Kitab berjudul asli Islamiyah la Wahabiyah ini terdapat berbagai fragmen surat yang konon ditulis langsung oleh sang ulama. Dimana salah satunya ia dengan jujur mengakui pernah melakukan pembakaran buku yang dianggap menyimpang. Sehingga kita bisa menilai sendiri siapa sebenarnya Abdul Wahab itu
1. Ramadhan di Jawa- Andre Moller
Barangkali buku ini adalah salah satu buku yang akan selalu saya baca selama Ramadhan di sisa hidup saya. Buku ini memberikan sebuah parodi dan pemikiran yang naif tentang bagaimana islam berkembang di Jawa. Jika pendapat fasis saya mengenai Indonesia adalah sama dengan Jawa maka buku ini adalah sebuah kritik yang tuntas. Ia bercerita tentang dualisme, mitologi dan juga praktek relijius yang beragam dari sebuah agama yang disebut islam.
Buku yang awalnya merupakan tesis dari Moller ini berjudul asli Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting, hadir seperti sebuah linimasa dari berbagai hastag yang muncul selama ramadhan. Seperti #Tarawih, #Takjil, #Sahur #Ngabuburit, #Itikaf dan juga #Ritusdadakanlainnya. Peneliti asal Jonstrop Swedia ini dengan cerdas dan komikal menuliskan sebuah rekam jejak yang baik tentang bagaimana ramadan dilakukan di Jawa.
Ramadhan boleh jadi puncak segala konsumerisme umat islam di Jawa. Namun dengan jeli Moller menggambarkan bahwa konsumerisme yang dimaksud adalah sebuah ritus lain. Ia membandingkan banyak sekali proses lain konsumsi masif yang terjadi selama ramadhan di berbagai tempat di jawa. Mulai dari ujung timur ke barat. Saya kira buku ini merupakan bentuk lain Lonely Planet dalam versi teologis yang menyenangkan.